...

22 Oktober 2020

Menyelamatkan Harimau Sumatra: Dimulai dari Mana? Catatan untuk Hari Harimau Internasional

Tiger2 Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan sub spesies terakhir dari jenis harimau yang pernah ada di Indonesia. Dua kerabatnya, Harimau Bali (P. t. balica) dan Harimau Jawa (P.t. sondaica) sudah lama hilang jejaknya dari alam tempat mereka hidup. Harimau Bali telah dinyatakan punah sejak tahun 1940-an sedangkan saudaranya yaitu Harimau Jawa dinyatakan sudah tak terlihat lagi sejak tahun 1980-an. Pada akhir tahun 1970an, diyakini populasi Harimau Sumatra berkisar sekitar 1.000 inidividu, kemudian menurun menjadi sekitar 400-500an individu pada awal 1990an. Berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2007), saat ini estimasi populasi harimau di delapan kawasan yang telah diidentifikasi dari 18 kawasan yang ada hanya tersisa sekitar 250an individu saja, sementara di 10 kawasan lainnya belum diestimasi. Namun para ahli harimau yakin populasinya di Sumatra tidak lebih dari estimasi tahun 1990an tersebut.

Kini dunia kembali mengingatkan pentingnya peran si Raja Hutan ini dengan peringatan Hari Harimau Internasional yang jatuh setiap tanggal 29 Juli.Tahun ini adalah tahun kelima perayaan Hari Harimau Internasional sejak ditetapkan pada 23 November 2010 lalu di St. Petersburg, Rusia. Dalam The St. Petersburg Declaration on Tiger Conservation, dibuat kesepakatan bersama bahwa dunia akan berupaya untuk meningkatkan populasi yang ada sekarang hingga dua kali lipat di tahun 2022. Peran penting harimau dalam ekosistem disebutkan jelas dalam deklarasi tersebut, bahwa predator ini adalah salah satu indikator penting ekosistem yang sehat. Rusaknya ekosistem tidak hanya berdampak pada kepunahan harimau, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati. Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang menandatangani Deklarasi Konservasi Harimau di St. Petersburg, Rusia pada 2010. Bahkan Kementerian Kehutanan pada 2007 lalu sudah membuat Rencana Aksi Konservasi yang masih berlaku hingga 2017.

Meski sudah ada rencana aksi dan kesepakatan antar negara, laporan kematian Harimau Sumatra terus membanjiri media. Termasuk konflik dengan petani di Jambi selama dua tahun terakhir yang mengorbankan 46 ekor harimau, maupun “salah urus” di Kebun Binatang Surabaya yang akhirnya juga membuat satu ekor harimau di sana mati. Mengutip judul di atas, “Penyelamatan Harimau Sumatra harus mulai dari mana?” Jawabannya tidak sederhana. Untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan Harimau Sumatra dari kepunahan, terlebih dahulu pemutakhiran data dan informasi harus dilakukan. Bagaimana status dan sebaran Harimau Sumatra terkini ? Berapa jumlah populasi terkini? Apa dan bagaimana tingkatan ancaman saat ini? Apa yang telah dan dapat dilakukan para pemangku kepentingan untuk menyelamatkan Si Belang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus bisa dijawab untuk membuat suatu tindakan yang tepat bagi penyelamatan harimau Sumatra.

Memastikan populasi Harimau Sumatra memang bukan hal yang mudah karena memerlukan cara dan peralatan tertentu, termasuk menggunakan camera trap. Untuk mengamati Harimau, camera trap dipasang di tempat yang diperkirakan menjadi kantong populasi harimau secara sistematis. Sejak 1996, dengan perkiraan populasi yang hanya 400-500 ekor IUCN (International Union for Conservation of Nature) telah memasukkan Harimau Sumatra dalam Daftar Merah satwa terancam punah dengan status Kritis (Critically Endangered). Hanya tinggal selangkah lagi sebelum statusnya dinyatakan punah di alam.

Harimau hidup di kawasasan hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan gambut, akan tetapi habitat harimau semakin menghilang seiring dengan berkurangnya tutupan hutan hampir di seluruh Pulau Sumatra akibat konversi hutan untuk kepentingan perkebunan sawit, pembangunan Hutan Tanaman Industri, pemukiman, pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan maupun untuk kepentingan lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan menyempitnya dan fragmentasi wilayah sehingga habitat harimau terpisah dalam blok-blok hutan.

“Selain hilangnya habitat, perburuan dan perdagangan secara illegal serta konflk dengan manusia menjadi penyebab utama berkurangnya populasi Harimau Sumatra. Bahkan diyakini perburuan dan konflik saat ini menjadi faktor pembunuh Harimau yang paling tinggi”, demikian menurut M.S. Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) yang menyoroti kondisi Harimau Sumatra. Indikasi itu tercermin dari data yang dirilis jejaring perdagangan satwa langka internasional, TRAFFIC, bahwa hanya dalam waktu empat tahun sepanjang 1998-2002, sudah ada 50 harimau Sumatra yang tewas diburu. Hal ini diakui oleh Konvensi pengendalian perdagangan spesies hidupan liar internasional (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES) yang memasukkan program khusus konservasi kucing besar  melalui resolusi CITES, sehingga seluruh 181 negara anggota CITES akan ikut mengontrol dan mengamankannya.

Pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan Lembaga Swadaya Masyarakat, sebenarnya tak tinggal diam untuk mencegah kepunahan Harimau Sumatra. Perlindungan habitat dan monitoring populasi secara intensif terus dilakukan di beberapa kantong populasi prioritas di Sumatra, khususnya beberapa kawasan konservasi yang menjadi habitat penting Harimau Sumatra, seperti TN Gunung Leuser (Aceh dan Sumatera Utara), TN Bukit Tiga Puluh (Riau), SM Rimbang Baling (Riau), TN Kerinci Seblat (Jambi-Bengkulu-Sumatera Barat-Sumatera Selatan), TN Bukit Barisan Selatan (Lampung), dan TN Way Kambas (Lampung).

Tiger1Yayasan KEHATI melalui program Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera), yang merupakan program kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat dalam konservasi Hutan Tropis di Sumatra mendorong penguatan dukungan dan keterlibatan secara aktif masyarakat, pemerintah dan juga swasta agar harimau tetap terjaga keberadaannya di alam. Yayasan KEHATI beserta mitra yang bekerja di lapangan mengidentifikasi paling tidak ada lima hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai target peningkatan populasi Harimau Sumatra, sebagaimana dideklarasikan di St. Petersburg, yaitu:

1) Perlindungan dan pemulihan kawasan yang berfungsi sebagai habitat dan koridor (penghubung) antar habitat; termasuk patroli perlindungan hutan dan rehabilitasi kawasan terdegradasi secara kolaboratif oleh Pemerintah bersama pihak Swasta dan Masyarakat.
2) Penataan ruang yang lebih memperhatikan aspek-aspek lingkungan, termasuk evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Penggunaan Lahan maupun Rencana Pembangunan Daerah.
3) Perlindungan dan pemantauan populasi secara intensif; termasuk dilakukannya patroli anti perburuan liar oleh Polisi Hutan dan masyarakat dan pemantauan populasi menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
4) Penanganan Konflik antara harimau dengan manusia, misalnya dengan peguatan sumberdaya manusia (masyarakat maupun pemerintah) dalam menangani konflik, peningkatan upaya pemulihan habitat Harimau, translokasi harimau Sumatra dari daerah-daerah rawan konflik ke daerah yang lebih aman.
5) Peningkatan kesadaran masyarakat dan penguatan efektivitas penegakan hukum, misalnya dengan Pembentukan Team Penanggulangan Pemburuan dan Perdagangan Liar Harimau, program-program peningkatan kapasitas SDM di bidang tindak pidana kehutanan dan satwa liar dan penyuluhan.

Kembali ke pertanyaan dalam judul di atas: “Menyelamatkan Harimau Sumatra: Dimulai dari Mana?” Penyelamatan Harimau Sumatra ini bisa dimulai dari upaya-upaya secara terintegrasi: pemulihan habitat, penataan ruang yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan, penanganan konflik dengan masyarakat, hingga kampanye dan upaya penegakan hokum yang efektif. Sebagai bagian dari upaya penyelamatan populasi harimau, TFCA-Sumatera salah satunya melalui mitra Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatra (PKHS) di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh telah membentuk tim Patroli untuk mengamankan dan memantau kawasan penyelamatan harimau. Anggota tim terdiri dari unsur masyarakat dan petugas Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Hingga saat ini , PKHS telah berhasil mengidentifikasi 58 individu harimau berdasarkan jepretan camera trap. Sementara di Taman Nasional Kerinci Seblat, melalui Jaringan AKAR (Aliansi Konservasi Alam Raya),TFCA-Sumatera berperan dalam menyelamatkan habitat harimau dengan melakukan berbagai upaya untuk mengurangi perambahan dan upaya advokasi terhadap perencanaan daerah yang dapat merusak habitat harimau di Taman Nasional Kerinci Seblat.

Kinerja TFCA-Sumatra yang dinilai baik oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Amerika Serikat dalam upaya penyelamatan Harimau Sumatra dan keanekaragaman hayati Hutan Tropis Sumatra menjadi dasar Program ini mendapat dukungan dana tambahan sebesar USD 12,6 juta. Anggaran dana tersebut didedikasikan untuk konservasi harimau dan badak dan satwa lainnya seperti gajah dan orangutan hingga satu dasawarsa mendatang. Diharapkan adanya alokasi dana tersebut Indonesia mampu meningkatkan populasi Harimau Sumatra dan jenis satwa langka lain yang ada di Sumatra sehingga terhindar dari kepunahan.

SHARE:
Berita lainnya