...

22 Oktober 2020

Perlu Terobosan Penanganan Kasus Satwa Liar

Data yang dilansir oleh FFI menyebutkan bahwa lebih  dari 40% tutupan hutan Aceh berkurang pada kurun waktu 2006 hingga 2010.   Hal ini disebabkan oleh berbagai kegiatan antara lain aktivitas logging, pembukaan lahan perkebunan, pertambangan, kebakaran hutan, pembukaan jalan serta aktivitas alih fungsi lahan hutan lainnya.

Laju konversi lahan juga diperparah dengan maraknya pemberian izin untuk usaha perkebunan skala besar dan pertambangan. Walaupun saat ini Aceh tengah berada dalam moratorium pemberian izin baru atas usaha-usaha kehutanan, namun hal ini tidak menutup kemungkinan adanya alih fungsi lahan untuk keperluan lain. Pertambangan rakyat yang merambah hingga kawasan lindung dan konservasi juga disinyalir menjadi salah satu pemicu berkurangnya tutupan dan luasan hutan Aceh.

Qanun Aceh nomor 19 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) Tahun 2013 – 2033 juga menjadi salah satu bahan perdebatan yang hingga hari ini belum selesai. Pasal-pasal dalam Qanun tersebut dikhawatirkan akan memperparah keadaan hutan Aceh, diantaranya yang berkaitan dengan pembukaan jalan baru, pembangunan sistem irigasi, peluang investasi bagi pemodal besar, lembaga pengelola kehutanan di Aceh dan lainnya. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mempercepat pengurangan luas habitat bagi satwa-satwa kunci seperti Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus), Orangutan Sumatra (Pongo abelii) dan Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis). Terlebih lagi, Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang masih menyimpan kekayaan spesies tersebut secara lengkap.

FFI dan Panthera memperkirakan Harimau Sumatera hidup pada luasan habitat 100 kilometer per segi per individu. Pada 2014, Forum Gajah dan Kementerian Kehutanan mengestimasi sekitar 1.724 individu populasi Gajah Sumatera yang berada di alam liar, karenanya konflik gajah tidak dapat dihindarkan.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyebutkan setidaknya ada 40 konflik gajah dengan manusia terjadi pada kurun waktu 2011 dan 2012. Konflik tersebut tersebar di 11 Kabupaten/Kota (Kabupaten Aceh Timur, Aceh Barat, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Bireuen, Aceh Selatan, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie, Aceh Utara, dan Kota Subussalam). Sementara data lain dari WWF Indonesia menyebutkan dalam kurun waktu 2012 hingga 2014, setidaknya 31 individu gajah mati di Aceh. Tingginya angka konflik ini juga dipicu dengan maraknya perburuan satwa liar (terutama harimau dan gajah) untuk diambil bagian-bagian tubuhnya atas banyaknya permintaan di pasar gelap terhadap bagian tubuh satwa tersebut.

Ditengah situasi seperti ini seolah penegakan hukum seolah menemukan jalan buntu. Kasus kematian 3 individu gajah pada tanggal 12 April 2014 di Aceh Barat dan 7 – 9 September 2014 di Aceh Timur dan Aceh Jaya disinyalir kuat menjadi bukti adanya perburuan, karena saat ditemukan gajah-gajah tersebut berada dalam kondisi mengenaskan tanpa gading. Pihak BKSDA dan Kepolisian Daerah Aceh (Polda Aceh) saat ini masih memproses kasus-kasus ini. Kasus lain yang juga menyorot perhatian berbagai pihak adalah kasus kematian gajah “Papa Geng” yang dibunuh pada 2013. Kasus ini menurut FFI tercatat sebagai kasus pembunuhan satwa liar (Gajah Sumatera) pertama di Aceh yang berhasil dibawa hingga ke depan pengadilan.

Data yang dihimpun oleh Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) menyebutkan hanya terdapat 18 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS yang bertugas di BKSDA, Dinas Kehutanan dan Bea Cukai3 untuk seluruh Provinsi Aceh. Sementara kemampuan teknis dan kapasitas penyidik-penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh dan para Penyidik Reserse di tingkat Kepolisian Resor (Polres) di tingkat kabupaten pun masih perlu ditingkatkan, terutama kemampuan teknis terkait Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum terhadap satwa liar yang dilindungi, termasuk pelatihan dasar Identifikasi Barang Bukti Kejahatan Terhadap Satwa Liar untuk Kepentingan Forensik. Hal ini tentunya merupakan tantangan besar bagi terlaksananya penegakan hukum di masa depan.

Sejak 2013 telah terbentuk Unit Kecil Lengkap (UKL) di tingkat Polres dan Polsek di wilayah Aceh.  UKL-UKL ini dibagi menjadi dua jenis sesuai tugasnya; 1). tugas khusus untuk pencegahan terjadinya kejahatan terkait KSDA (UKL Preemtif-Preventif dengan Direktorat Binmas/Binmas sebagai Penjuru) dan 2). tugas penanganan kasus-kasus terkait KSDA (UKL Penegakan Hukum yang diujung-tombaki oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus).

Kebutuhan akan dukungan yang lebih kuat untuk UKL Penegakan Hukum makin mendesak terutama terkait peningkatan kapasitas personel, penciptaan SOP untuk hubungan tata cara kerja antar instansi yang lebih efisien, fasilitasi koordinasi, komunikasi dan kerjasama antar dinas terkait.

LSGK menyediakan dukungan teknis terhadap kinerja UKL Penegakan Hukum Polda Aceh ke seluruh wilayah Aceh, dengan fokus pada 4 kabupaten (di pesisir Barat Aceh) yang termasuk di dalam kawasan bentang Alam Ekosistem Leuser.   Berbagai kegiatan awal di lapangan terkait sosialisasi materi KSDA kepada aparat penegak hukum di lapangan mendapati perlunya peningkatan kemampuan teknis para penyidik, terutama mulai dari TPTK  khusus penanganan kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar yang dilindung. Perlu peguatan pada proses identifikasi barang bukti kejahatan untuk kepentingan forensik, hingga Standar Operating Procedur (SOP) antar instansi penegak hukum terkait di Aceh.

Untuk itu koordinasi antar instansi terkait dalam penegakan hukum (polisi, BKSDA,jaksa dan hakim) perlu ditingkatkan kualitasnya secara signifikan.

Beberapa pertemuan koordinasi dan pertemuan reguler telah berhasil dilaksanakan sejak awal tahun 2014. Dari hasil berbagai pertemuan tersebut, telah diidentifikasi berbagai kebutuhan untuk menunjang kinerja penegakan Hukum terpadu (Gakkumdu), diantaranya diperlukan langkah-langkan strategis dalam penanganan kasus kejahatan terhadap satwa liar, seperti yang diajukan dalam proposal.

Beberapa terobosan terkait penanganan kasus terkait satwa liar telah diambil, misalnya pada bulan Desember 2014 telah diluncurkan fasilitas SMS Gateway oleh , Polda Aceh untuk pelaporan kejahatan terkait KSDA. Akan tetapi jalan penegakan hukum di bidang KSDA masih panjang, masih diperlukan kerjasama dan koordinasi yang kuat antar instansi penegak  hukum.

SHARE:
Berita lainnya