...

22 Oktober 2020

Belajar Dari Upaya Menghutankan Kembali Cinta Raja, Taman Nasional Gunung Leuser

Kehadiran kembali gajah Sumatera di lokasi restorasi Cinta Raja 3.

Kehadiran kembali gajah Sumatera di lokasi restorasi Cinta Raja 3.

Restorasi menjadi salah satu cara untuk mengembalikan kondisi kesehatan hutan yang tadinya rusak hingga memiliki fungsi ekologi seperti sedia kala. Di Resort Cinta Raja, Taman Nasional Gunung Leuser, upaya restorasi berawal dari penemuan kebun sawit ilegal di dalam kawasan. Patroli gabungan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leusr (BBTNGL) dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL) berhasil menangkap ketua kelompok perambah kawasan di akhir tahun 2016. Berdasarkan data yang dihimpun, luas kawasan yang dirambah mencapai 80 ha dengan kepemilikan lahan kurang lebih 18 KK. Melalui sebuah pendekatan persuasif yang baik dari pihak Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) TNGL akhirnya dihasilkan sebuah solusi jalan tengah. Masyarakat boleh mengembil hasil sawit yang siap panen sebelum tanaman tersebut dimusnahkan.

Setelah masalah perambahan selesai, BBTNGL bersama dengan YOSL melakukan penebangan sawit di zona rimba tersebut. Proses penebangan didampingi oleh pihak Kepolisian dan TNI. Sesuai dengan perjanjian semula, setelah sawit ditebang, masyarakat dapat segera mengambil hasil buahnya. Setelah dipastikan selesai, persiapan restorasi langsung dilakukan. Namun sambil menunggu proses persiapan restorasi, patroli pengamanan kawasan tetap dilakukan. Kegiatan pengamanan dilakukan untuk menghindari masyarakat lainnya yang masuk ke lahan kosong tersebut.

Secara teknis, proses restorasi oleh YOSL dapat dibagi menjadi 3, pertama adalah proses persiapan lahan. Para proses ini ada kegiatan penting yang kadang absen dilakukan oleh beberapa kelompok restorasi yaitu melalukan analisis vegetasi dengan ekosistem referensi dan analisis fenologi. Dua hal tersebut nantinya yang akan menentukan hasil restorasi dan layer tutupan hutan seperti fungsi semula. Kedua adalah proses penanaman. Perlu digaris bawahi dalam proses ini memilah dan menentukan tanaman fast dan slow growing akan sangat penting. Karena kedua jenis tanaman tersebut memiliki perlakukan yang berbeda-beda. Ketiga adalah proses pasca penanaman. Proses ini meliputi proses survey keanekaragaman hayati (kehati) dan mengukur iklim mikro yang ada. Jika sudah ada indikator seperti datangnya satwa endemik dan predator maka restorasi bisa saja dikatakan telah berhasil. Survey kehati di awal dan akhir akan bermanfaat untuk analisis keberhasilan restorasi ke depan.

Lalu, apakah dengan proses teknis tersebut proses restorasi telah selesai? Ternyata belum. Ada proses proses non teknis yang kadang sering ditinggalkan dan dianggap tidak penting. Proses ini memang tidak pernah ada dalam text book tetapi jika melihat pembelajaran yang telah dilakukan justru proses ini tak kalah pentingnya.

Beberapa proses non teknis yang dilakukan YOSL tersebut diantaranya adalah live in, pola pendekatan kepada masyarakat dan pengelolaan sistem pengetahuan untuk mengambil pembelajaran dari proses restorasi terdahulu. Pertama, tinggal di lokasi ternyata membuat orang-orang yang punya niat buruk untuk merambah berpikir dua kali untuk melakukannya. Setidaknya masyarakat merasa bahwa tempat tersebut ‘dihuni’ dan ‘dijaga’. Kedua, pendekatan kepada masyarakat juga merupakan instrument penting untuk menggali dukungan masyarakat sekitar. Proses terakhir yang tak kalah penting adalah cara mengatur sistem pengetahuan untuk dapat dengan mudah memanen pembelajaran dari proses kegagalan dan keberhasilan restorasi terdahulu. Kegiatan seperti membuat air ‘infuse’ pada lahan gersang di musim kemarau tidak pernah ada di dalam buku dan itu lahir dari kreatifitas pengelola yang ada disana. Hal semacam itu telah dicatat dan dipraktekan di lokasi restorasi yang lain.

Perubahan tutupan lahan restorasi Cinta Raja 3, diukur rentang 1 tahun.

Perubahan tutupan lahan restorasi Cinta Raja 3, diukur rentang 1 tahun.

Melalui berbagai proses tadi, Mitra TFCA-Sumtera tersebut mengatakan bahwa restorasi Cinta Raja III merupakan salah satu restorasi di hutan dataran rendah yang paling cepat partumbuhan dan keberhasilan yang selama ini dilakukan oleh mereka. Berdasarkan pengamatan Manajer Resortasi YOSL, perbandingan hasil pertumbuhan tanaman di Cinta Raja III pada umur 1 tahun dengan restorasi Halaban bisa 2 kali lipatnya. Pada umur 1 tahun fast growing di Cinta Raja III bisa mencapai tinggi 5 meter sementera di Halaban hanya 2,5 meter. Pernyataan tersebut juga didukung oleh para petugas lapangan yang mengatakan bahwa survival rate tanaman lebih tinggi. Indikator lainya adalah pada tahun ke-2 kijang dan gajah telah muncul kembali. Selompok gajah (terdiri dari 13 individu) maupun gajah soliter beberapa kali tertangkap kamera mencari makan di dalam kawasan tersebut (seperti pada foto pertama tulisan ini). Kemunculan satwa-satwa tersebut menjadi bukti kuat keberhasilan restorasi yang didanai oleh TFCA-Sumatera. Senada dengan beberapa literasi yang mengatakan bahwa keberhasilan restorasi dapat diukur dari munculnya kembali satwa-satwa kunci. (YAN)

SHARE:
Berita lainnya