Banjir dan longsor dahsyat yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Ia juga menghantam rumah-rumah satwa kunci Sumatera—gajah, harimau, badak, dan orangutan—yang selama ini bergantung pada jaringan hutan yang kini banyak mengalami kerusakan. Anehnya, sampai kini laporan tentang perjumpaan massal antara satwa dan manusia relatif minim. Pertanyaan sederhana namun mengusik muncul: kemana mereka pergi? Apakah populasinya masih ada? Jawabannya tidak tunggal; ia menuntut analisis berhati-hati yang memadukan data lapang, pemahaman ekologi, dan kajian risiko.
Pertama-tama, skala bencana ini besar dan cepat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan lembaga bantuan internasional melaporkan dampak luas—ribuan mengungsi, ratusan meninggal, serta kawasan yang belum sepenuhnya terjangkau tim penyelamat—yang menandakan terjadinya perubahan bentang lahan dan hilangnya habitat dalam waktu singkat. Data situasi darurat menunjukkan bahwa banjir dan longsor menyerang daerah-daerah kritis yang juga menampung fungsi ekologis penting seperti daerah tangkapan air dan koridor ekologis.
Untuk orangutan Tapanuli, salah satu spesies paling terancam, dampaknya sudah diukur oleh para ilmuwan: laporan terbaru memperkirakan ratusan hektar hutan rusak dan kematian individu yang tidak bisa diabaikan, sehingga menggambarkan kehilangan demografis yang nyata pada populasi yang jumlahnya sangat terbatas. Para ahli memperingatkan bahwa gangguan semacam ini menimbulkan apa yang disebut “extinction-level disturbance” bagi populasi kecil yang reproduksinya lambat. Dalam konteks Batang Toru dan populasi Tapanuli, kerusakan habitat dan hilangnya individu merupakan kehilangan yang menambah kerentanan jangka panjang spesies tersebut.
Untuk badak Sumatra, jumlah populasi liar yang amat sedikit —dinyatakan oleh catatan konservasi global sebagai puluhan individu saja—membuat setiap kejadian kehilangan habitat menjadi kritis. Ketika kantong-kantong habitat yang menjadi tempat berlindung dan sumber pakan rusak, probabilitas kehilangan individu meningkat dan kesempatan pemulihan populasi menyusut drastis. Data populasi badak terkini yang dipublikasikan oleh jaringan konservasi internasional menegaskan margin aman populasi yang sangat tipis.
Harimau dan gajah menghadapi pola ancaman yang berbeda tetapi saling berkaitan.
Studi-studi lapangan di ekosistem Leuser dan kawasan sekitarnya menunjukkan bahwa densitas dan pergerakan harimau sensitif terhadap fragmentasi habitat; ketika koridor terganggu, risiko konflik dan mortalitas meningkat. Sementara itu, gajah yang membutuhkan jalur jelajah luas cenderung bertahan dalam fragmen hutan yang tersembunyi atau berpindah ke koridor yang masih memungkinkan, tetapi hal ini memakan waktu dan sering membuat mereka rentan terhadap konflik bila pilihan habitat menyempit. Kajian kamera perangkap dan survei terbaru memberikan gambaran bahwa populasi harimau di beberapa zona masih terdeteksi, tetapi distribusi dan fungsinya sudah berubah sebelum bencana ini.
Lantas, mengapa kita belum melihat gelombang besar satwa turun ke permukiman? Ada beberapa kemungkinan yang saling bukan saling meniadakan. Pertama, sebagian satwa mungkin tewas di tempat—terkait tumbangnya pohon, longsor, atau arus banjir yang kuat—sehingga tidak ada siklus “migrasi” ke kawasan manusia yang terlihat. Kedua, banyak satwa memindahkan diri ke sisa-sisa kantong habitat yang masih relatif aman—tempat yang sulit diakses manusia dan tim penyelamat—sehingga pengamatan lapangan belum menjumpai mereka. Ketiga, beberapa populasi mungkin terfragmentasi dan terisolasi, membuat deteksi menjadi lebih sulit: mereka menyelinap ke vegetasi padat, gua, ceruk lembah, atau pulau kecil hutan yang selamat. Keempat, keterbatasan akses dan fokus respon kemanusiaan berarti survei satwa secara sistematis belum prioritas, sehingga data awal cenderung minim dan belum mewakili situasi ekologis sesungguhnya.
Apakah populasinya masih ada? Jawabannya bergantung pada spesies, lokasi, dan seberapa parah kerusakan habitat lokal. Untuk spesies dengan populasi besar dan jangkauan luas, seperti beberapa populasi gajah, kemungkinan besar sebagian individu bertahan, meski distribusi dan struktur sosial mereka terganggu. Untuk spesies sangat terancam dengan populasi sangat kecil dan jangkauan terbatas—terutama badak Sumatra dan Tapanuli orangutan—kejadian seperti ini dapat mengurangi angka populasi hingga mengubah kelangsungan reproduksi jangka panjang. Pernyataan dan estimasi dari lembaga konservasi dan ilmuwan menuntut respons cepat: survei darat dan udara, pendataan individu, dan upaya penyelamatan bila diperlukan.
Apa yang harus dilakukan sekarang juga jelas: prioritas pertama adalah data. Pemerintah (UPT Kehutanan), bersama lembaga konservasi, perguruan tinggi, dan LSM internasional, harus segera melaksanakan survei terpadu untuk mengetahui dampak nyata terhadap populasi dan habitat. Survei ini perlu sistematika yang menggabungkan citra satelit untuk menilai kehilangan tutupan hutan, kamera perangkap untuk mendeteksi keberadaan individu, dan patroli lapangan yang melibatkan masyarakat lokal. Selanjutnya, tindakan pemulihan habitat harus diprioritaskan: melindungi kantong-kantong yang masih selamat, memperbaiki koridor—bahkan sementara—dan melaksanakan restorasi ekologis berbasis ilmu. Untuk spesies yang sangat rentan, program penyelamatan dan perlindungan intensif (termasuk eks-situ jika diperlukan) harus dipertimbangkan sebagai upaya darurat sambil menjaga integritas genetik populasi.
Pemerintah harus berperan memfasilitasi akses, regulasi, dan koordinasi lintas sektor, LSM memainkan peran di lapangan dan advokasi, sedangkan perguruan tinggi menyediakan analisis ilmiah dan kapabilitas pemantauan. Tanpa kolaborasi yang jelas dan terencana, upaya restorasi akan terpecah dan tidak memadai terhadap skala kerusakan.
Banjir besar ini adalah ujian bagi komitmen konservasi Indonesia. Jika kita gagal menempatkan data dan tindakan bersama di depan, maka kehilangan yang terjadi kini akan menjadi luka panjang bagi keanekaragaman hayati. Sebaliknya, bila respon digerakkan cepat dan terkoordinasi, ini bisa menjadi titik balik: pemulihan habitat yang terencana, penguatan koridor, dan pengakuan bahwa kelestarian satwa kunci adalah prasyarat bagi keselamatan manusia. Alam telah memberi peringatan; tugas kita sekarang adalah merespons dengan solusi yang berbasis bukti dan kemauan politik.
SHARE: