Aceh Timur – Pembangunan suaka badak sumatra atau Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) di Kabupaten Aceh Timur, Aceh terus dilakukan. Berbagai fasilitas SRS yang digarap oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) dengan dukungan dana dari program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera terus ditambah.
Untuk memastikan perkembangan pembangunan, Direktur TFCA Sumatera Samedi dan tim melakukan peninjauan ke SRS Aceh Timur, Selasa (9/9/2025). Tidak hanya TFCA Sumatera, peninjauan juga dihadiri Direktur Keuangan dan Administrasi Yayasan KEHATI Indra Gunawan Dian Putra dan Pengawas Yayasan KEHATI Mochamad Indrawan.
Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan badak sumatra dalam daftar merah dengan statrus critically endangered (CR) atau sangat terancam punah. SRS menjadi bagian penting dari program besar penyelamatan spesies ini. Dalam kunjungan itu, tim mengecek sejumlah fasilitas vital yang sudah dan tengah dibangun, mulai dari kandang rawat, Boma (kandang pengelolaan semi-intensif), Paddock (area jelajah untuk badak), hingga pagar pembatas dengan tegangan listrik yang berfungsi sebagai sistem pengamanan.
“Sejauh ini progres pembangunan cukup baik. Kualitas pengerjaan di lapangan juga sangat memadai, terutama untuk fasilitas utama seperti kandang rawat dan pagar pengaman,” ujar Direktur TFCA Sumatera Samedi.
Hasil pemantauan menunjukkan fasilitas SRS cukup baik. Dua kandang rawat sudah berdiri setelah dibangun dengan pertimbangan para ahli badak. Begitu juga dengan satu boma yang terus ditingkatkan kualitasnya setelah berdiskusi dengan para ahli.
Saat ini FKL juga terus melakukan percepatan pembangunan fasilitas lainnya, seperti klinik, jembatan hingga pemantapan pada kantor utama suaka.
Samedi mengapresiasi upaya percepatan pembangunan yang dilakukan FKL. Menurut dia, dana hibah yang digelontorkan TFCA Sumatera adalah upaya konservasi badak sebagai satwa terancam punah. Program penyelamatan badak sumatra menjadi salah satu prioritas TFCA Sumatra dalam upaya menyelamatkan spesies kunci Sumatra ini.
“Badak sumatra adalah ikon penting ekosistem hutan tropis. Dengan adanya SRS di Aceh Timur, kita berharap ada pusat konservasi baru yang bisa menjaga, menambah, bahkan memperluas populasi badak di masa depan,” katanya.
Samedi juga mendorong upaya kolaboratif dalam konservasi badak sumatra. Baik dari pemerintah, organisasi non pemerintah, akademisi hingga masyarakat.
Pembangunan SRS Aceh Timur merupakan bagian dari strategi besar penyelamatan badak sumatra. Lokasi Aceh Timur dipilih karena wilayah ini masih menyimpan hutan dengan kondisi ekologi yang mendukung. Dilansir dari laman savetherhino.org, jumlah badak sumatra diperkirakan kurang dari 50 individu.
FKL menekankan, keberadaan SRS bukan hanya soal infrastruktur, melainkan simbol komitmen bersama dalam menjaga satwa langka. “Ini adalah investasi jangka panjang untuk alam dan generasi mendatang. Jika tidak kita lakukan sekarang, badak sumatra bisa benar-benar hilang,” kata Koordinator Progam Perlindungan Satwa Liar FKL Dedy Yansyah.
Saat ini, progres pembangunan SRS, kata Dedy sudah rampung hingga 60 persen. Pembangunan diprediksi akan rampung pada 2026 mendatang.
Pembangunan yang sudah dilakukan sejak 2021 lalu ini, menghadapi banyak tantangan. Medan berat menuju lokasi hingga kondisi cuaca yang sulit diprediksi, menjadi tantangan utama. Kondisi-kondisi ini terkadang membuat mobilisasi material pembangunan SRS menjadi terkendala.
Selain pembangunan infrastruktur, FKL juga terus menyiapkan pemantapan tim di SRS. Ranger yang akan melakukan evakuasi badak dari alam sudah menjalani sejumlah pelatihan. Bahkan, simulasi evakuasi badak sudah dilakukan dengan dukungan para ahli.
Seiring dengan progres yang terus berjalan positif, harapan untuk memperkuat konservasi badak sumatra pun semakin besar. Pembangunan SRS Aceh Timur tidak hanya akan menjadi pusat perlindungan satwa, tetapi juga pusat riset dan edukasi konservasi.
Dengan kolaborasi berbagai pihak, mulai dari NGO, pemerintah, hingga masyarakat, SRS ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam menyelamatkan spesies yang berada di ambang kepunahan.
“Ini adalah peluang terakhir untuk menyelamatkan badak Sumatera ya, karena posisinya memang sudah cukup kritis. Jadi jika kita gagal kali ini mungkin anak cucu kita itu yang akan menyalahkan kita. Segala upaya harus kita lakukan untuk melakukan penyelamatan badak. Jangan sampai, badak tinggal cerita,” pungkas Dedy. (Goy)
Sekilas tentang badak sumatra
Badak yang bernama latin Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis adalah mamalia dengan status sangat terancam punah. Badak sumatra tersebar pada tiga bentang alam; Taman Nasional Way Kambas, Bukit Barisan Selatan dan Kawasan Ekosistem Leuser.
Badak Sumatra memiliki ukuran tubuh paling kecil dibandingkan dengan jenis badak lainnya. Tingginya sekitar 120-145 sentimeter, dengan panjang sekitar 250 cm, dan berat 500 – 800 kilogram (Foose et al, 1997). Badak Sumatera adalah satu-satunya badak asia yang memiliki dua cula. Panjang cula depan biasanya berkisar antara 25 – 80 cm, sedangkan cula belakang biasanya relatif pendek dan tidak lebih dari 10 cm. Ciri-ciri lainnya adalah telinga yang besar, kulit berwarna coklat keabu-abuan atau kemerahan – sebagaian besar ditutupi oleh rambut dan kerut di sekitar matanya.
Habitatnya mencakup hutan rawa dataran rendah hingga hutan perbukitan -meskipun umumnya menyukai hutan dengan vegetasi yang sangat lebat. Daya jelajahnya tinggi. Makanan hewan soliter ini adalah buah (khususnya mangga liar dan fikus), daun-daunan, ranting-ranting kecil dan kulit kayu. Ancaman terhadap Badak Sumatra datang dari perburuan untuk diambil culanya dan hilangnya serta terfragmentasinya habitat hutan alamnya.
SHARE: