Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan hanya meninggalkan duka bagi manusia. Di balik luapan air dan longsor yang merusak permukiman, terdapat ancaman serius bagi kelestarian keanekaragaman hayati—khususnya gajah, harimau sumatra, badak sumatra, dan orangutan—yang hidup di berbagai lanskap konservasi penting di Sumatera. Bencana ini menyingkap kenyataan pahit bahwa rusaknya hutan di hulu tidak hanya memperbesar risiko bagi manusia, tetapi juga mengancam keberlangsungan kehidupan satwa yang selama ini menjadi penanda kesehatan ekosistem.
Ketika hujan ekstrem datang dan topan Seniar memperkuat intensitas curah hujan, hutan yang sehat seharusnya mampu meredam dampaknya. Namun kawasan hulu di sejumlah wilayah Sumatera telah mengalami degradasi yang signifikan akibat pembalakan dan perubahan bentang lahan. Kerusakan itu membuat habitat satwa terganggu. Gajah kehilangan jalur jelajahnya, harimau kehilangan daerah perburuan alaminya, badak kehilangan kantong-kantong hutan teduh yang menjadi tempat berlindungnya, sementara orangutan menghadapi ancaman pohon tumbang dan rusaknya pohon pakan.
Dalam beberapa wilayah, satwa-satwa ini dipaksa bergerak mendekati kawasan manusia untuk mencari tempat yang lebih aman dan sumber makanan yang tersisa. Konflik pun berisiko meningkat. Gajah yang terjebak banjir bisa terdorong mendekati desa. Harimau yang wilayah hutannya longsor dapat masuk ke kebun atau ternak warga. Orangutan yang kehilangan kanopi pohon bisa terjebak di hamparan lahan terbuka. Badak—yang populasinya sudah teramat sedikit—berpotensi kehilangan individu penting hanya karena jatuhnya tebing atau hilangnya mineral lick yang mereka butuhkan. Situasi ini menunjukkan bahwa bencana ekologis selalu menjadi pukulan paling berat bagi spesies yang populasinya sudah rentan.
Setelah kerusakan hutan terjadi, keberlangsungan satwa-satwa ini menghadapi ancaman berlapis. Habitat mereka tidak hanya rusak secara fisik, tetapi juga secara fungsional. Jalur pergerakan mereka terputus. Sumber pakan hilang. Reproduksi terganggu. Pada satwa seperti badak, yang memerlukan ruang luas dan tenang untuk berkembang biak, gangguan ini bisa menentukan arah keberlangsungan spesies dalam jangka panjang. Demikian pula harimau yang sangat sensitif terhadap perubahan lanskap; kehilangan daerah jelajah dapat mendorong mereka keluar dari kawasan lindung dan meningkatkan risiko perburuan. Untuk orangutan, hilangnya kanopi membuat mereka lebih rentan terhadap cedera, kelaparan, dan isolasi populasi. Gajah, yang membutuhkan jalur jelajah lintas bentang, akan terus terdorong ke kawasan berkonflik jika hutan yang tersisa tidak segera dipulihkan.
Oleh karena itu, langkah penyelamatan satwa kunci tidak bisa hanya berfokus pada penanganan darurat. Ia harus mencakup pendekatan jangka panjang yang mengembalikan fungsi ekologis lanskap. Pemerintah perlu memastikan bahwa kawasan hulu segera direhabilitasi dengan pemulihan ekosistem yang terukur, bukan sekadar penanaman simbolis. Lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi dapat memainkan peran penting dalam riset, pemantauan populasi, dan penguatan kapasitas masyarakat lokal untuk mencegah konflik satwa.
Kerja sama multi-pihak menjadi kunci. Tanpa koordinasi yang kuat, upaya konservasi tidak akan mampu mengejar laju degradasi habitat yang terus berlangsung. Para pemangku kepentingan harus memahami bahwa menyelamatkan satwa kunci berarti menyelamatkan fungsi hutan itu sendiri. Ketika gajah, harimau, badak, dan orangutan bisa bertahan, itu berarti hutan masih sehat. Sebaliknya, kepunahan mereka adalah pertanda bahwa ekosistem telah runtuh, dan manusia pada akhirnya akan menanggung akibatnya.
Banjir besar di Sumatera adalah alarm keras bahwa waktu kita tidak banyak. Hutan yang rusak harus dipulihkan, bukan dinegosiasikan. Satwa liar perlu dilindungi, bukan sekadar dipantau. Dan konservasi harus dipandang sebagai kewajiban moral, bukan pilihan. Masa depan gajah, harimau, badak, dan orangutan sangat ditentukan oleh keputusan yang kita ambil hari ini. Jika kita gagal menjawab peringatan ini, maka bencana ekologis berikutnya hanya tinggal menunggu giliran.
SHARE: