Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir tahun ini kembali mengingatkan kita bahwa hubungan antara manusia dan alam di Indonesia masih rapuh. Hujan ekstrem yang mengguyur kawasan tersebut sejatinya merupakan bagian dari dinamika alam. Namun, intensitasnya kali ini meningkat akibat kombinasi cuaca lokal dan fenomena topan Seniar yang membawa massa udara basah dan memicu curah hujan tinggi. Dalam kondisi ekologis yang sehat, air sebesar apa pun akan tertahan dan dikelola oleh hutan-hutan yang masih utuh. Tetapi ketika benteng alam itu melemah, banjir berubah menjadi bencana besar.

Kerusakan hutan di daerah hulu yang makin masif sejak beberapa tahun terakhir telah menghilangkan fungsi dasar kawasan tersebut sebagai penyerap air dan penyangga ekosistem. Penebangan kayu—baik yang terdata maupun yang dilakukan secara ilegal—menyebabkan lapisan tanah menjadi terbuka, rawan longsor, dan tidak mampu lagi menahan limpahan air hujan. Fenomena alam yang semestinya dapat diredam berubah menjadi banjir besar yang merusak permukiman, mengisolasi ribuan warga, dan memutuskan akses ekonomi. Dengan kata lain, bukan alam yang tiba-tiba berubah kejam, tetapi sistem tata kelola lingkungan yang gagal menjalankan fungsinya.
Karena itu, musibah ini tidak tepat disebut sebagai bencana murni. Ia adalah fenomena alam yang diperparah oleh kesalahan tata kelola yang berlangsung bertahun-tahun. Situasi ini harus menjadi momentum nasional untuk kembali menegakkan tata kelola kehutanan secara sungguh-sungguh. Semua pihak—pemerintah, aparat penegak hukum, pelaku usaha, dan masyarakat—harus melihat banjir ini sebagai sinyal keras bahwa kelalaian terhadap aturan akan selalu berujung pada kerugian jauh lebih besar dibanding manfaat jangka pendek dari eksploitasi hutan.
Di tengah kerusakan itu, ribuan warga kini berada di lokasi pengungsian. Banyak di antara mereka kehilangan rumah dan mata pencaharian. Proses pemulihan tidak akan selesai dalam hitungan minggu. Rekonstruksi infrastruktur, rehabilitasi lingkungan, dan pemulihan ekonomi keluarga bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kerusakan hutan di hulu tidak dapat dipulihkan seketika; butuh perencanaan jangka panjang, rehabilitasi berkelanjutan, serta komitmen anggaran yang memadai untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan.
Nasib para pengungsi membutuhkan perhatian penuh. Bantuan darurat memang penting, tetapi itu baru langkah awal. Yang jauh lebih menentukan adalah manajemen kebencanaan yang terencana, terukur, dan berbasis ilmu pengetahuan. Pemerintah daerah dan pusat harus memperkuat sistem peringatan dini, penataan ruang, dan kesiapsiagaan masyarakat. Tanpa itu semua, banjir serupa akan mudah terulang, dan masyarakat di bagian hilir akan terus menanggung akibat dari kerusakan yang terjadi jauh di hulu.
Banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah peringatan keras bahwa tata kelola lingkungan bukan sekadar urusan administratif. Ia menyangkut keselamatan manusia. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola hutan dan pengelolaan bencana, maka kita akan terus bergerak dalam lingkaran yang sama: alam memberi peringatan, manusia mengabaikan, dan masyarakat kembali menjadi korban. Saatnya mengakhiri pola itu dan menempatkan kelestarian lingkungan sebagai fondasi utama pembangunan negeri.
SHARE: