Pulau Siberut, kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. terletak sebelah timur di lepas pantai dataran Sumatera
Pulau Siberut termasuk dalam Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat bersama dengan 3 pulau besar lainnya, yaitu Pulau Pagai Utara dan Selatan serta Pulau Sipora. Kabupaten Kepulauan Mantawai berpenduduk sekitar 60.000 jiwa yang tersebar di 10 kecamatan. Pulau Siberut sendiri terdiri dari 5 kecamatan: Siberut Utara, Siberut Selatan, Siberut Barat, Siberut Barat Daya dan Siberut Tengah, dengan 18 desa tercatat tersebar didalamnya. Jumlah penduduk Siberut diperkirakan sekitar 28000 jiwa, sebagian besar berasal dari suku Mentawai dan lainnya dari suku Minangkabau serta pedatang yang telah lama tinggal di Siberut. Jarak dari pantai Sumatera Barat dari titik Teluk Bayur adalah 168 km atau kurang lebih 12 jam perjalanan laut.
Penduduk asli Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah masyarakat adat Mentawai, yang dianggap berakar dari Austronesia dan diperkirakan datang ke Pulau Siberut sekitar 3000 tahun yang lalu. Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut ’uma’. Mereka tinggal dalam rumah besar yang juga disebut uma yang berada di tanah-tanah suku. Uma dihuni oleh 2 sampai 8 keluarga inti yang mempunyai garis keturunan patrilinial. Setiap uma dipimpin oleh seorang laki-laki senior yang disebut rimata dan dibantu oleh satu atau dua orang sikerei (dukun). Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, egalitarian dan otonom secara politik. Setiap anggota dewasa dalam uma memiliki kedudukan yang sama kecuali sikerei yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Penduduk asli Siberut menganut kebudayaan Neolitikum dan mempunyai kepercayaan animisme yang banyak mengaitkan alam dengan berbagai tradisinya. Hutan, tumbuhan dan satwa dianggap mempunyai jiwa dan mengisi berbagai upacara adatnya dan kehidupan sehari-harinya. Secara tradisional, masyarakat adat Mentawai menanam sagu, memelihara babi dan anjing serta mengumpulkan rotan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain bertani sagu, keterkaitan dengan hutan diperlihatkan masyarakat adat Mentawai dengan budaya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dilakukan oleh kaum pria. Sedangkan kaum wanitanya melakukan penangkapan ikan, serta kebiasaan menggunakan tanaman obat dalam upaya pengobatan tradisional. Ini memperlihatnya pentingnya hutan bagi seluruh penghuni Siberut dan pentingnya diupayakan pengelolaan hutan lestari.
Nilai-nilai dari Ekosostem Hutan Tropis terhadap Kelangsungan Budaya Masyarakat mentawai, dipandang dari sisi Sikerei maupun Simatak adalah :
• Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan para Sikerei, untuk melakukan ritual dan pengobatan bagi orang sakit. Artinya semakin dekat Hutan dengan tempat tinggal masyarakat, semakin mudah dan cepat dilakukannya pengobatan tradisional, sehingga si penderita sakit, baik badan maupun jiwanya, bisa segera disembuhkan.
• Hutan akan menjadi kekuatan roh bagi sikerei dalam bermain dengan roh, untuk ritual dan pengobatan yang dilakukannya.
• Tanpa ada hutan Sikerei tidak akan mampu menunjukkan keagungannya, karena Hutan adalah bagian dari kekuatan kerei, dalam menambah tingkatan pengalaman dan kesenioritasannya.
• Hutan merupakan aspek terpenting dalam melakukan pengobatan tradisional yang dilakukan oleh Sikerei maupun Simatak (simatak adalah orang /Penyembuh tradisional yang bukan sikerei). Pengertian Simatak adalah Mentah, yang berarti daun-daunan yang segar dan hijau, serta berada di tengah-tengah hutan yang dijadikan obat oleh penyembut tradisional yang bukan sikerei.
Namun, kini semakin banyak masyarakat di Siberut yang terpecah-pecah. Beberapa tertarik dengan keuntungan cepat yang diperoleh dari penebangan pohon atau perkebunan sawit, sejalan dengan masyarakat Mentawai yang kini masuk ke dalam ekonomi uang tunai. Sementara yang lainnya yakin kalau masa depan mereka terletak pada pengolahan hutan yang berdasarkan pada pengetahuan dan praktek adat. Jika hutan mereka hilang, begitu jugalah kebudayaan unik dan sistem keyakinan para penduduk pulau. Masyarakat Siberut menjadikan sungai sebagai sarana transportasi antar wilayah. Terdapat 28 batang sungai yang bermuara di pantai timur maupun barat Siberut, yang diantaranya cukup besar untuk dilayari sampai ke hulu. Potensi pengembangan sumber air tawar di Pulau Siberut lebih besar dibandingkan dengan 3 pulau lainnya. Pulau Siberut memiliki curah hujan cukup tinggi, 3.320 mm per tahun sehingga tutupan vegetasi terutama hutan menjadi sangat vital untuk menahan erosi tanah.
Masyarakat asli Mentawai di Siberut terdiri dari berbagai suku yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Sedikitnya ada 15 bahasa berbeda yang digunakan di Siberut. Desa Sagulubek, Saibi Samukop, Madobag, Matotonan, Taileleu dan Saliguma cenderung memiliki latar belakang bahasa dan adat istiadat yang sama, sehingga secara tidak langsung juga mendasari cara berpikir masyarakat di 6 desa tersebut yang juga cenderung sama. Proyek TFCA-Sumatera dijalankan di desa-desa ini yang memiliki kesamaan bahasa, adat istiadat dan cara berpikir. Dengan demikian pengelolaan wilayah melalui sinergi antara masyarakat, pemerintah dan pihak lainnya, menuju ekosistem Siberut lestari, dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien.
SHARE: