Panji mengikat erat tali sepatunya. Memakai masker kain sembari menghidupkan motor tracker warna hijau. Butuh lebih dari tiga kali percobaan agar motor tersebut menyala.
“Motor tempur kita,” ucapnya bercanda kepada tim Pundi Sumatra. Hari ini (14/11/22) tim Pundi Sumatra diberi kesempatan untuk berkunjung ke Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) yang berada di antara Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir Provinsi Riau. Kami berkumpul di Kantor Sekretariat Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS). Sinar matahari cukup terik pagi itu, kalau dilihat dari perkiraan cuaca, hujan akan turun di sore hari.
“Cuaca tak tentu, di dalam sana pasti akan hujan,” ujar Panji. Kami segera melaju meninggalkan lokasi, berharap agar hujan belum turun sehingga akses masuk ke TNBT lebih mudah. Selain Panji, ada Taufik dan Wija yang turut serta menemani tim Pundi Sumatra. Mereka berdua adalah anggota Yayasan PKHS yang bekerja sebagai tim patroli untuk wilayah TNBT di Riau-Jambi, sedangkan Taufik adalah Koordinator PKHS Wilayah Riau.
Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih dua jam setengah. Hujan lebat beberapa hari lalu sempat merobohkan jembatan kecil dari kayu yang biasa dilalui kendaraan roda empat. Akses satu-satunya dari tempat kami masuk hingga ke camp granit hanya bisa dilewati dengan kendaraan roda dua. Sedikit masuk ke dalam kawasan, gapura warna orange pudar bertuliskan Selamat Datang di Camp Granit Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menjadi tanda bahwa tak lama lagi kami akan tiba di Camp Granit.
“Masih sekitar lima belas menit lagi sampai di camp,” Taufik mengingatkan waktu perjalanan. Suhu udara mendadak turun dan sejuk saat menyusuri jalan tanah di sepanjang TNBT ini. Padahal selama dua jam perjalanan di jalan lintas, panas terik matahari terasa membakar kulit. Tutupan pohon-pohon dengan umur ratusan tahun memberikan suasana tenang dan damai seakan mempersilakan siapa saja untuk beristirahat. Potensi taman nasional dapat dirasakan saat masuk melalui gapura ini.
Panji dan Wija ternyata telah lebih dahulu sampai di Camp Granit TNBT. Lokasi wisata unggulan ini berada di zona pemanfaatan intensif. Letak camp tersebut ada di Desa Talang Lakat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu. Dari atas bukit camp bekas tambang granit ini, hamparan bukit-bukit dan pohon yang menjulang tinggi terlihat seperti lukisan.
Ada perjuangan yang panjang dalam upaya penyelamatan hutan tropis terbesar di Sumatra ini. Proses penetapan taman nasional ini bermula pada tahun 1982. Kala itu ekosistem di Bukit Tiga Puluh diusulkan untuk menjadi Suaka Margasatwa Bukit Besar seluas 200.000 ha dan Cagar Alam Seberida seluas 120.000 ha. Kawasan ini resmi ditunjuk menjadi taman nasional pada tahun 1995. Luas TNBT berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 6407/Kpts-II/2002 adalah seluas 144.223 Hektar.
Berdasarkan segi penyebarannya, ada empat jenis tipe ekosistem di TNBT, yaitu ekosistem hutan primer yang masih asri dan belum terganggu, ekosistem hutan alam terganggu yang telah mengalami penebangan, ekosistem hutan belukar sebagai ladang, dan ekosistem kebun karet sebagai perkebunan masyarakat.
Kepala Balai TNBT, Fifin Arfiana menceritakan kepada Pundi Sumatra tentang kondisi wilayahnya. Masyarakat sekitar kawasan menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Menurut Fifin, upaya konservasi ini menjadi tanggungjawab semua pihak, sehingga pendekatan-pendekatan berbasis masyarakat perlu diberikan secara tepat.
“Pemerintah sudah berikan akses kepada masyarakat sekitar untuk memanfaatkan hasil kayu bukan hutan seperti karet, jernang, dan rotan. Tapi, tetap ada batasannya,” ucapnya. Lebih lanjut, Fifin juga menceritakan bahwa di dalam kawasan TNBT ada komunitas adat yang telah lebih dulu mendiami, yaitu Suku Talang Mamak dan Suku Anak Dalam. Mereka tersebar dan hidup dengan memanfaatkan hasil hutan.
Umumnya suku Talang Mamak telah hidup menetap di suatu wilayah untuk waktu yang sangat lama. Suku Talang Mamak sejak dulu juga sudah mengenal sistem perladangan tradisional dan ritual gotong royong mereka untuk membuka ladang. Berbeda dengan Suku Anak Dalam yang pola hidupnya masih nomaden atau berpindah-pindah tergantung sumber makanan yang tersedia di hutan.
“Masyarakat tradisional ini punya budaya berpindah, kalau tidak diawasi tentunya ini akan berbahaya. Mereka muternya di sekitar mereka saja atau sudah keluar dari kawasan mereka. Kalau dilarang kasihan hak mereka sudah minim,” jelasnya. Balai TNBT sedang mengupayakan pembinaan kepada komunitas adat ini untuk meninggalkan budaya hidup nomaden.
Upaya Menjaga Kawasan dengan Patroli
Area terbuka yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebelum kawasan ini berbadan hukum adalah seluas 1200-1300 Hektar yang sedang dipulihkan. Menurut Fifin open area ini disebabkan oleh berbagai macam, seperti kebakaran hutan, pembukaan lahan perkebunan sawit, ilegal logging, dan sebagainya.
“Alhamdulillah TNBT ini kawasannya masih masuk kategori terjaga. Kita rutin berikan edukasi kepada mereka. Tujuannya untuk meningkatkan sense of belonging mereka,” tutur Fifin. Strategi yang dilakukan oleh Balai TNBT adalah dengan melibatkan masyarakat untuk tergabung dalam patroli MMP (Masyarakat Mitra Polhut).
Salah satu mitra yang bekerjasama dengan Balai TNBT dalam menjaga kawasan tersebut adalah Yayasan PKHS. Melalui dukungan dari Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Sumatera, PKHS bekerja pada koridor Sumatera dengan judul proyek “Perlindungan Populasi Harimau Sumatera dan Deteksi Dini Penyakit pada Satwa Mangsa di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Provinsi Riau dan Jambi) dan Taman Nasional Way Kambas (Provinsi Lampung)”. Salah satu upaya perlindungan populasi Harimau Sumatera yang dilakukan oleh PKHS adalah dengan melakukan patroli sapu jerat.
Santoso selaku Manager Proyek PKHS Wilayah Riau menjelaskan bahwa PKHS sudah tiga kali mendapatkan dukungan dari TFCA Sumatera. Selama kurun waktu tersebut, tentunya program yang diusulkan PKHS bertujuan menjaga alam dan berharap membawa perubahan kepada alam.
Tak ada lelah di raut wajah mereka saat Tim Pundi Sumatra mengajak untuk berkeliling di sekitar camp. Tak jauh dari camp granit ini, ada danau yang diberi nama Telaga Teduh.
“Danau ini dulu digunakan sebagai sumber air untuk penambang granit,” ucap Panji. Ia juga menunjukkan bekas anak tangga yang disemen dan berlumut sebagai salah satu akses menuju danau. Melangkah di sekitar danau haruslah berhati-hati, terpeleset atau kaki akan dihisap lintah. Wija berulang kali mengingatkan untuk berhati-hati melangkah.
Kondisi tanah lembab membuat jalanan setapak yang dipenuhi rumput akan terasa licin. Inilah alasan TNBT memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. suhu ideal serta jenis iklim Indonesia menjadikan hutan tropis dataran rendah ini mendapatkan intensitas air dan cahaya matahari yang cukup sepanjang tahun. Flora jenis langka yang dapat dijumpai yaitu bunga raflesia atau cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii), pulai (Alstonia scholaris), jernang (Daemonorops draco), getah merah (Palaguyum sopi), dan jelutung (Dyera cosculata).
Layaknya kompas, dua pria ini seperti mengenal setiap sudut bukit-bukit TNBT. Usai dari danau, kami menuju Air Terjun Granit. Perjalanan kami tempuh menggunakan motor tracker dengan waktu kurang lebih sekitar 15 menit. Sepengetahuan mereka, air terjun ini tercipta karena terputusnya aliran sungai akibat aktivitas pertambangan granit sehingga menghasilkan lubang besar di batu granit tersebut
Mencintai Alam
Tak banyak kaum muda yang tertarik bekerja menjaga alam. Pekerjaan ini memerlukan kesabaran serta sikap yang tegas dalam menghadapi algoritma alam. Aspek yang dihadapi tentu saja cukup banyak, seperti ancaman dari pihak luar yang tak bertanggung jawab, bencana alam, serta kematian spesies langka yang tentu saja akan meninggalkan kesedihan mendalam. Panji dan Wija memilih jalan itu.
Panji sudah lama mengenal hutan. Begitu pula dengan Wija. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini bergabung dengan PKHS sejak tahun 2012. Sama hal dengan Panji, Wija juga memiliki ketertarikan sendiri terhadap alam. Sejak bergabung dalam organisasi pramuka, baginya alam terasa menarik.
“Kalau di sini nyaman, sejuk, teduh. Beda sama kota.” tuturnya. Wija juga merasakan perbedaan pada dirinya setelah kurang lebih 10 tahun bergabung menjadi anggota patroli. Ia menjadi lebih mengenal makna kelestarian hutan. Baginya kelestarian hutan adalah saat semua isi di dalam hutan terjaga dengan baik dan tidak ada pembukaan lahan untuk tujuan yang buruk.
Wija dan Panji kerap mendapatkan pertanyaan dari lingkungan sekitar yang menganggap remeh pekerjaannya.
“Ngapain sih kerjanya keluar masuk hutan, emang gak takut kena tangkap harimau,” ucap Wija menirukan pertanyaan dari rekannya. Namun pertanyaan-pertanyaan aneh lain segera ia tepis. Semua skenario buruk di lapangan sebenarnya telah lama dipikirkan oleh mereka. Namun kerja-kerja konservasi memang memiliki konsekuensi yang seharga nyawa. Bagi mereka hal itu harus dihadapi bersama saat bekerja di lapangan.
Meski begitu, pihak keluarga mendukung penuh keputusan bekerja di koridor bukit tiga puluh ini. “Keluarga mendukung, mereka malah senang anaknya kerja bantu nyelamatin ruang hidup harimau,” tutur Wija.
Mereka berdua berharap PKHS mendapatkan dukungan dari pihak lain untuk penyelamatan kawasan TNBT ini. Pernah di tahun 2021, Panji dan Wija tidak mendapatkan perpanjangan kontrak karena proyek dan dukungan pihak luar sempat terhenti. Mereka berharap tetap diberi kesempatan untuk menjaga ruang hidup Harimau Sumatera di sini.
Polisi Hutan TNBT
Nasib Panji dan Wija cukup berbeda dengan Nazar. Ia adalah pensiunan PNS yang bergabung menjadi polisi hutan di TNBT sejak tahun 1998.
“Dulu angkatan saya ada 28 orang, sekarang sudah banyak yang pensiun,” kenang Nazar.
Memasuki usia 24 tahun, Nazar aktif berpatroli bersama dengan lembaga mitra lain, termasuk dengan PKHS ini. Saat ini umurnya 58 tahun. Selama lebih dari 30 tahun Nazar menyisir bukit-bukit di TNBT. Berkat pengabdiannya menjaga kawasan, alam memberinya rezeki. Ia mampu membiaya pendidikan ketiga anaknya sampai perguruan tinggi.
Nazar adalah polisi hutan yang sering bersama dengan Panji dan Wija. Bulan Oktober 2022 lalu, ia sempat melakukan baktinya pada TNBT selama 10 hari di dalam kawasan. Banyak kenangan yang memecah tawanya saat berpatroli.
“Kalau ada orang paling belakang melompat sambil teriak, orang yang didepannya ikutan melompat dan teriak juga, padahal kita tak tau apa yang ditakuti,” ucapnya sambil terkekeh-kekeh.
Selain itu Nazar juga mengenang bagaimana kegiatan patrolinya. Matanya menatap dalam tanda mengingat kejadian-kejadian lalu, seperti hanya menghidupkan sebatang lilin tanpa menghidupkannya lagi dan menginap di atas bukit karena matahari telah beranjak sehingga mereka terpaksa menginap jauh dari sumber air.
Saat tidak berpatroli, Nazar akan ditempatkan di pos-pos jaga TNBT. Terdapat empat pos jaga di Provinsi Riau ini, Talang Lakat, Keritang, Siampul, dan Lahai. Sedangkan di Provinsi Jambi hanya ada dua, yaitu di Lubuk Madrasah da Suo-suo.
TNBT meninggalkan kesan tersendiri bagi Nazar, selama bekerja ia telah mengupayakan keamanan TNBT bersama rekan setimnya. Baginya TNBT penuh terhadap pembelajaran kehidupan. Ia melihat bahwa masyarakat banyak menggantungkan hidup di hutan.
Lebih lanjut Nazar juga berharap bahwa TFCA Sumatera dan PKHS masih terus bekerja membantu menyelamatkan kawasan taman nasional ini bersama dengan pemerintah. (Annisa/Pundi Sumatra)
SHARE: