Selama bertahun-tahun, diskursus mengenai deforestasi di Indonesia terselimuti oleh narasi penghalusan dan penyangkalan. Deforestasi, yang secara nyata terlihat melalui hilangnya tutupan hutan, perubahan lanskap, dan rusaknya daerah tangkapan air, kerap disampaikan dengan istilah-istilah yang mereduksi kenyataan. Pada masa lalu, laju kerusakan hutan dianggap tidak signifikan, atau bahwa “tidak ada deforestasi” selama definisi tertentu dipakai. Manipulasi istilah ini membuat persoalan kehilangan tutupan hutan tampak lebih kecil dari kenyataannya. Padahal, hutan tidak membutuhkan perdebatan semantik; ia membutuhkan perlindungan nyata.
Akibat dari penyangkalan ini sangat terasa hari ini. Ketika banjir dan longsor melanda tiga provinsi di Sumatera, masyarakat kembali membayar harga dari kelalaian menatap fakta. Fenomena hujan ekstrem dan cuaca yang dipengaruhi topan dari utara memang bagian dari dinamika alam. Namun, dampaknya akan jauh lebih terkendali jika hutan-hutan di hulu masih berdiri kokoh. Tidak ada istilah yang mampu menutupi kenyataan bahwa hilangnya tutupan hutan memperbesar risiko bencana. Ketika hutan hilang, air hujan kehilangan ruang untuk diserap. Tanah kehilangan penahan. Sungai kehilangan keseimbangannya. Pada akhirnya, masyarakat di hilir kehilangan keselamatannya.
Penyangkalan deforestasi bukan sekadar persoalan wacana; ia telah membentuk cara negara melihat hutan dan mengelolanya. Tindakan korektif tidak berjalan optimal, pengawasan melemah, penegakan hukum longgar, rehabilitasi sering kali tidak berbanding dengan laju kehilangan hutan. Penyangkalan membuat kita terlambat merespons. Kini, ketika bencana terjadi berturut-turut, kita dipaksa menghadapi konsekuensinya secara terbuka.
Saat ini seharusnya menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan kehutanan secara jujur dan komprehensif. Narasi penghalusan istilah harus dihentikan. Deforestasi harus disebut apa adanya: hilangnya hutan dan hilangnya fungsi ekologis yang menopang kehidupan. Tanpa kejujuran dalam mendefinisikan masalah, mustahil kita dapat menawarkan solusi yang memadai. Keterbukaan data, transparansi tata kelola, dan kesediaan untuk mengakui kesalahan merupakan prasyarat bagi perubahan yang lebih baik.
Banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat membuka kembali pelajaran lama yang seharusnya tidak pernah kita lupakan. Alam tidak bernegosiasi dengan retorika. Ia merespons dengan mekanisme ekologinya sendiri. Ketika hutan rusak, bencana hanya menunggu waktu. Karena itu, sikap terhadap isu kehutanan tidak bisa lagi setengah hati atau terjebak dalam permainan istilah. Pengelolaan hutan harus dipandang sebagai investasi keselamatan masyarakat sekaligus fondasi peradaban ekologis bangsa.
Inilah saatnya Indonesia membangun ulang hubungan yang sehat dengan hutannya, dimulai dari keberanian untuk mengakui kenyataan. Tanpa itu, kita akan terus mengulang lingkaran yang sama: menolak melihat kerusakan, menanggung bencana, lalu kembali menyangkal. Tulisan ini mengajak kita menghentikan siklus tersebut dan menegakkan tata kelola lingkungan yang bertumpu pada fakta, bukan pada narasi semu. Hanya dengan cara itu kita dapat memastikan bahwa hutan tetap menjadi pelindung, bukan sumber malapetaka.
SHARE: