Ada seribu satu cara untuk menekan laju perambahan di kawan konservasi yang dilindungi negara berdasarkan undang-undang. Cara yang dipilih bisa berupa pengenaan sanksi bagi pelanggar, cara persuasif, menumbuhkan kesadaran maupun memberdayakan agar masyarakat dapat mendapatkan manfaat dari alam tempat mereka tinggal dan seharusnya dijaga dengan baik. DI Renah Pemetik, kisah bagaimana kopi menjadi benteng konservasi menjadi sebuah kisah yang menarik.
Renah Pemetik merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat. Masyarakat Kemantan mengklaim Renah Pemetik ialah ajun arah mereka, yaitu wilayah masyarakat desa di luar desa adat yang sejak dulu telah dibuka oleh nenek moyang.
Budi daya kopi arabika di lembah Renah Pemetik sebenarnya baru dimulai pada 2013. Pembudidayaan kopi itu diinisiasi TFCA-Sumatra bermitra dengan Akar (Aliansi Konservasi Alam Raya) Network. Bersama dengan pihak swasta yakni PT Agrotropic Nusantara, hasil produksi petani ditampung untuk kemudian diolah menjadi biji kopi siap ekspor. Dari awalnya hanya diikuti oleh 3 petani kopi di Renah Pemetik, usaha perkebunan kopi kini berkembang dengan melibatkan 77 petani.
Berkat bimbingan yang intens, sebagian petani yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi mengusahakan lahan di dalam kawasan taman nasional, kini telah sibuk dengan lahan kopi yang mereka usahakan di dalam kawasan desa. Teknik budidaya secara baik dan benar menghasilkan biji kopi arabika yang melimpah yang selalu menyibukkan petani untuk memanen.
"Hati kami tenang, dan alhamdulillah rejeki mengalir dengan lancar" ujar petani dampingan yang dulunya mantan perambah taman nasional. Pendekatan masyarakat sejahtera, hutan lestari hendaknya bukan sekedar menjadi jargon. Di Renah Pemetik, perambahan hutan bisa berhenti karena mereka justru tertarik untuk bisa sejahtera dari kopi.