Oleh Konsorsium Alert
Taman Nasional merupakan benteng terakhir hidupan liar di Indonesia yang harus dikelola dan dilindungi. Sebagian besar taman nasional di Indonesia mengalami kerusakan hutan yang cenderung semakin meluas. Kenyataan ini mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi, sehingga memerlukan kerjasama dan dukungan baik di tingkat nasional maupun dunia internasional untuk menemukan solusi yang efektif dalam usaha mengembalikan kondisi hutan.
TNWK berbatasan langsung dengan 37 desa penyangga, yang terbagi menjadi 10 kecamatan dalam 2 kabupaten. Dari keseluruhan desa tersebut, 24 desa sudah tergabung dalam Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP). Keberadaan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi ini membuat yang terjadi di luar kawasan akan berdampak langsung ke dalam kawasan dan begitupun sebaliknya. Kegiatan ilegal seperti pencurian kayu, pembakaran hutan serta perburuan satwa merupakan penyebab utama kerusakan hutan dan habitat alami yang ada di TNWK. Kebakaran hutan di kawasan TNWK dapat mencapai hampir separuh dari total luas kawasan seperti yang terjadi pada tahun 1997, 2007 dan 2011 (Yayasan PKHS, 2011). Disinyalir kebakaran yang terjadi disebabkan oleh aktifitas manusia dengan tujuan mendapatkan pakan ternak (penggembalaan liar), perburuan liar dan aktivitas ilegal lainnya di dalam hutan. Lokasi TNWK yang berbatasan langsung dengan desa penyangga juga membuat kerap terjadinya konflik antara satwa dan manusia.
Penelitian ilmiah juga telah banyak dilakukan oleh PKHS dan Universitas Lampung, diantaranya penelitian yang berjudul 1) The ecological dilemma of local people and wild boar in Way Kambas National Park boundary (Wahyudi and Rustiati, 2009); 2) Local people and primates in the Way Kambas National Park: going towards co-existence or conflict? (Triandiza and Rustiati, 2009); 3) Elephants, Tigers, and Transmigrations: Conflict and Conservation at Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia (Nyhus, 1999).
Keberadaan spesies kunci dan kondisi habitatnya telah banyak dilakukan oleh tim konsorsium, beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam beberapa jurnal seperti : 1) Kajian keberadaan sarang babi hutan (Sus scrofa) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung (Riyandi et al., 2011); 2) Studi keberadaan harimau Sumatera di Taman Nasional Way Kambas berdasarkan jebakan kamera (Ardhianto et al. 2009); 3) Kajian keanekaragaman hewan mangsa harimau Sumatera di Taman Nasional Way Kambas berdasarkan jebakan kamera (Sari et al. 2009); 4) Local people and primates in the Way Kambas National Park: going towards co-existence or conflict? (Triandiza dan Rustiati. 2009); 5) The ecological dilemma of local people and wild boar in Way Kambas National Park boundary (Wahyudi dan Rustiati, 2009); dan masih banyak literatur lainnya.
Besarnya keanekaragaman satwa di TNWK membuat kawasan ini dikenal di kalangan wisatawan sebagai lokasi dengan kesempatan melihat satwa langka di habitatnya dengan cukup mudah. Selain menyajikan bentang alam yang indah, desa penyangga TNWK juga memiliki kegiatan budaya, kerajinan tangan dan potensi wisata lainnya. Hanya saja potensi wisata yang ada saat ini masih memerlukan pembinaan guna peningkatan kunjungan wisata. Selain wisata, masih banyak potensi lain yang dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar kawasan sekaligus memberikan persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan satwa sehingga slogan Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera dapat terwujud.
Pengelolaan kawasan yang mensinergikan kegiatan pembinaan di dalam dan luar kawasan serta keterlibatan berbagai pihak termasuk masyarakat sekitar kawasan konservasi diharapkan akan memberikan hasil yang signifikan bagi kawasan konservasi dan masyarakat di sekitarnya sesuai dengan Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019. Konsorsium Perkumpulan Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) dan Forum Rembug Desa Penyangga Way Kambas (FRDP) bersama-sama telah menyusun kegiatan untuk mengatasi ancaman-ancaman terhadap kawasan konservasi TNWK dengan kegiatan utama berupa reforestasi seluas 60 hektar (peningkatan kualitas kawasan terdegradasi) dengan dampak pengamanan seluas 5000 ha; dan perlindungan kawasan (125.000 ha) dan daerah penyangga TNWK (10.000 ha). Sebagai kegiatan pendukung akan dilakukan pengembangan model pengelolaan ekowisata minat khusus dan pengembangan ekonomi alternatif kreatif sebagai dukungan penanganan konflik satwa-manusia.
SHARE: