...

22 Oktober 2020

Catatan Pengelolaan HKm di Tarabintang

Warga sedang memanen rotan mereka. Rotan merupakan komoditas HKm yang menjadi sumber pendapatan alternatif masyarakat.

Warga sedang memanen rotan mereka. Rotan merupakan komoditas HKm yang menjadi sumber pendapatan alternatif masyarakat.

HUMBANG HASUNDUTAN, Sumatera Utara –  Memanen rotan sebagai salah satu komoditas Hkm  memang takj mudah.    Durinya yang panjang menyelimuti seluruh batang dapat membuat seseorang demam jika tertusuk. Karenanya dibutuhkan kehati-hatian dan ketelatenan. Rotan, kini menjadi harapan baru bagi masyarakat di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang, Kecamatan Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Salmon Sihotang, Ketua Gapoktan HKm Napasingkam Sejahtera bercerita ketika ia bersama  warga lainnya sedang mencari rotan. Menurutnya seorang pengambil rotan harus mengetahui di mana ujung dan pangkal agar terhindar dari duri. “Kita juga tahu, kalau sedang di hutan dan kehausan, kita bisa minum air yang keluar dari batang rotan.  Rasanya segar,” katanya.

Menurutnya, sejak adanya IUPHKm seluas 391 hektar sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6927/Men.LHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017, masyarakat tidak hanya mengenal tentang bagaimana melestarikan hutan. Tetapi juga mengelola alam dengan mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) tanpa harus merusak hutan. “Karena, lestarinya hutan ini menjadi nyawa bagi kami,” katanya.

SK tersebut, kata dia, juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa kini mereka memiliki legalitas untuk mengelola wilayah yang diberi izin untuk dikelolanya. Sebelumnya, masyarakat tidak berani mengambil sesuatu di hutan karena adanya ancaman hukuman jika ketahuan. “Dan kalau dihitung, sudah ada 50 ton yang yang sudah keluar dari sini,” katanya.

Begitu halnya dalam pola pertanian. Masyarakat kini sudah mengenal pola tanaman jajar legowo yang terbukti bisa membuat hasil lebih baik dengan jumlah bibit yang lebih sedikit. Konsep mina padi juga demikian menguntungkan bagi petani. Walaupun begitu, diakuinya belum sepenuhnya masyarakat mau menerapkannya. Perubahan, kata dia, tetap membutuhkan waktu.

“Dulu kami juga melakukan perladangan berpindah. Kami menanam cabai. Setelah lahan dibakar, baru kami tebar bibit. Tapi setelah adanya HKm, praktik itu tidak lagi dilakukan,” katanya.

Untuk belajar mengelola HKm yang diamanatkan,  beberapa waktu lalu pihaknya melakukan studi banding ke mitra TFCA-Sumatera di Lampung yang juga memiliki IUPHKm. Di sana, mereka sudah mampu mandiri.  Mereka melihat bahwa masyarakat sangat membutuhkan pendampingan dalam mengelola HKm.  Beruntung  Gapoktan Napasingkam Sejahtera didampingi Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan dengan pendanaan Tropical Forest Conservation Action (TFCA-Sumatera) sejak lima tahun yang lalu.

“Kami studi banding HKm di Lampung. Di sana mereka sudah mandiri dengan pembibitan, sudah memiliki lubuk larangan berbadan hukum. Kami di sini juga sudah punya lubuk larangan serupa, makanya kami semakin semangat,” katanya.

Pihaknya berharap agar pendampingan tetap dilanjutkan. “Kami melihat yang di Lampung itu. Mereka berhasil. Kami tahu itu butuh waktu dan pendampingan. Itu yang kami rasakan sekarang ini. Pembinaan dalam penyuluhan ekonomi, kegiatan masyarakat. Masih banyak lagi. Bercita-cita agar hutan di Napasingkam menjadi hutan lestari, masyarakat sejahtera. Kami percaya banyak pohon banyak rejeki,” katanya.

Koorinator Lapangan Yayasan Caritas PSE KAM pada project  TFCA-Sumatera, Leo Karmelo Tarigan mengatakan, lima tahun sudah pihaknya mendampingi masyarakat di Napasingkam hingga kini mendapakan IUPHKm dan saat sudah selesai program mereka mendampingi masyarakat.

Namun demikian, ke depan pihaknya tetap berkomitmen untuk hadir jika dibutuhkan. Menurutnya, pihaknya akan mencoba untuk menghubungkan rencana kerja usaha dari dana desa. Kegiatan HKm, kata dia, bisa dilakukan dengan dana desa. “Bisa dengan mencari dukungan dari pihak lain agar bisa memandirikan Gapoktan ini. Memang bahwa lima tahun itu belum cukup untuk menjadikan Napasingkam sebagai model perhutanan sosial yang unggul,” katanya.

Manajer Komunikasi dan Informasi TFCA-Sumatera, Ali Sofiawan mengatakan, pihaknya melihat banyak sekali perkembangan Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan dalam mendampingi masyarakat di Napasingkam.

“Kami senang dengan kinerja Caritas dalam mendampingi masyarakat. Pada acara sosialisasi hasil program di pendopo Kabupaten, BPSKL juga menyebut bahwa Caritas adalah LSM yang aktif. Tanpa Caritas mungkin mereka tak tahu ada HKm yang potensial didorong di Napasingkam. Di sini kita mengapresiasi program Caritas.” katanya.

Ali menambahkan, potensi lanskap Toba Barat kaya dan ekosistem yang penting untuk dilindungi. TFCA Sumatra, kata dia, berupaya melindungi kawasan selain konservasi yang juga menjadi koridor penting bagi satwa. Lanskap Toba Barat ini satu dari 23 kawasan konservasi penting di Sumatra.

Menurutnya, TFCA-Sumatera  hadir untuk untuk mengembalikan daya dukung alam untuk kesejahteraan hidup masyarakat. Dijelaskannya, banyak kawasan konservasi yang perlu dilindungi. Dari sisi keanekaragaman hayati perlindungan bagi kelanjutan hidup satwa tidak hanya diberikan pada kawasan konservasi saja, namun perlu juga diperhatikan di kawsan maupiun koridor di luar kawasan konservasi.   Bahkan, menurutnya, empat spesies kunci juga banyak berada di luar kawasan konservasi.

“Dari situ kita lihat perlu lindungi kawasan koridor. Sebagian besar satwa ada di dataran rendah hutan hujan tropis. TFCA berinisiatif melindungi kawasan itu,” katanya.

Dikatakannya, bukan tanpa alasan TFCA mau mendanai Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan yang bukan lembaga konservasi karena menurutnya persoalan konservasi sendiri bukan monopoli lembaga konservasi. Dana yang disalurkan pada Yayasan Caritas yang berbasis pada penanggulangan kebencanaan ini, hampir sama untuk mitra lain, yakni Rp4,7 miliar dengan pelaksanaan selama tiga tahun dan diperpanjang menjadi 8 lima tahun.

“Bentuk dukungan lain dari TFCA adalah peningkatan kapasitas masyarakat yang diarahkan pada mitra itu sendiri atau masyarakat dampingannya. Mulai dari aspek kebijakan dan penguatan kelembagaan, aksi nyata perbaikan di tingkat lanskap, perlindungan spesies dan unsur peningkatan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Ali menambahkan, berbicara konservasi tidak melulu mengenai keberhasilan dan kegagalan. Menurutnya yang lebih penting dari itu adalah pembelajaran. “Kami lihat bahwa persoalan persiapan di masyarakat memang perlu lebih ditingkatkan sehingga program bisa dijalankan. Ada kendala, tapi itu bagian pembelajaran yang bisa dishare ke lembaga lain untuk pintu masuk ke lembaga lain,” katanya.

SHARE:
Berita lainnya