Oleh: Hariyo T. Wibisono, Ph.D*
Dalam waktu dekat, kita akan kembali memperingati hari harimau sedunia yang jatuh pada tanggal 29 Juli setiap tahunnya. Ada banyak sebutan untuk hari harimau sedunia, di antaranya adalah Global Tiger Day atau GTD, International Tiger Day, dan World Tiger Day. GTD ditetapkan pada tahun 2010 oleh 13 negara pemilik harimau (tiger range country) dalam rangka menggalang dukungan masyarakat internasional untuk menggandakan ukuran populasi harimau pada tahun 2022. Penetapan GTD tersebut menjadi titik balik dalam upaya konservasi harimau dunia, di mana masing-masing negara, termasuk Indonesia, kemudian menyusun dokumen rencana pemulihan harimau yang dikenal dengan nama National Tiger Recovery Program (NTRP). Ketiga belas NTRP tersebut kemudian disusun dalam suatu dokumen induk yang dikenal dengan nama Global Tiger Recovery Program (GTRP). Secara garis besar, NTRP memuat berbagai skala prioritas, baik dalam hal strategi maupun aksi, alokasi sumber daya, maupun bentang alam harimau, dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektifitas upaya konservasi harimau. Dengan kata lain, NTRP merupakan sintesa dari dokumen strategi dan rencana aksi konservasi harimau masing-masing negara pemilik harimau.
Secara umum, GTRP disusun atas dasar kesadaran kolektif para pemimpin negara pemilik harimau bahwa: a) pendekatan yang selama itu dilakukan oleh negara-negara pemilik harimau tidak berjalan secara efektif, b) sumber daya yang tersedia untuk konservasi harimau sangat terbatas, dan c) karenanya diperlukan kerja sama antar negara dan berbagai pihak terkait agar upaya konservasi harimau lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, GTRP mengadopsi prinsip source-sink area sebagai pendekatan baru dalam memperkuat konservasi harimau global. Source area, atau kawasan sumber, didefinisikan sebagai suatu kawasan di mana individu harimau di dalamnya memiliki potensi untuk mengisi kembali (repopulate) bentang alam yang lebih luas (sink area) di sekitarnya. Source area ditentukan terutama berdasarkan potensi keberadaan betina berbiak di dalamnya. Sedangkan sink area merupakan bentang alam di sekitar source area di mana dampak aktivitas manusia terhadap populasi harimau tidak dapat dihindari sepenuhnya. Oleh karena nilai pentingnya dalam menjaga kesintasan populasi harimau sumatra di suatu bentang alam, maka source area harus diupayakan dapat menjadi kawasan yang bebas dari segala bentuk aktivitas manusia (unviolated zone), kecuali untuk kepentingan pengelolaan.
Status Konservasi
Melalui dokumen NTRP, Pemerintah Indonesia memandatkan penguatan upaya konservasi harimau di enam bentang alam prioritas, yaitu Leuser – Ulu Masen, Kerinci Seblat – Batang Hari, Kampar – Kerumutan, Bukit Tiga Puluh, Berbak – Sembilang, dan Bukit Barisan Selatan. Secara umum, tantangan utama yang dihadapi oleh harimau sumatra yaitu deforestasi dan fragmentasi, perburuan dan perdagangan ilegal harimau dan satwa mangsanya, dan konflik antara harimau dengan manusia. Oleh karena itu, di dalam NTRP aksi prioritasnya meliputi pemantauan populasi harimau, satwa mangsa, dan ancamannya, patroli hutan adaptif, dan mitigasi konflik antara manusia dengan harimau sumatra. Selain dokumen NTRP, Indonesia juga memiliki dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra (STRAKOHAS) yang berlaku untuk periode 2007 hingga 2017. Dokumen STRAKOHAS ini saat ini sedang diperbaharui.
Berdasarkan kedua dokumen tersebut, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam rangka memperkuat pengelolaan dan perlidungan harimau sumatra dan habitatnya. Komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk penguatan pengelolaan bentang alam prioritas NTRP melalui pembentukan unit-unit pemantauan dan pelaksanakan kegiatan pemantauan status populasi harimau sumatra dan satwa mangsanya secara berkala, pembentukan tim patroli hutan dan pelaksanaan patroli hutan secara berkala, pembentukan tim mitigasi konflik antara harimau dengan manusia, dan pembangunan jejaring pemantauan perdagangan liar harimau sumatra. Sekarang mari kita telusuri bagaimana dampak dari penerapan STRAKOHAS dan NTRP Indonesia sejak pertama kali diluncurkan, masing-masing 14 dan 10 tahun yang lalu.
Pada tahun 2010, penulis dan kolega mengevaluasi keberadaan harimau sumatra pada 33 bentang alam seluas 250 km2 atau lebih. Dari ke-33 bentang alam tersebut, harimau sumatra masih dapat dijumpai pada 27 betang alam, mungkin masih ada pada dua bentang alam, dan punah dari empat bentang alam. Ke-27 bentang alam tersebut meliputi kawasan seluas kurang lebih 140.000 hektar, dimana 29% di antaranya dilindungi, dan sebagian besar lainnya adalah taman nasional. Pada tahun 2016, kajian kesintasan populasi harimau sumatra pada bentang alam yang sama tidak menemukan lagi bukti keberadaan harimau sumatra pada enam dari 29 bentang alam, menyisakan hanya 23 bentang alam dengan harimau sumatra. Dengan demikian, hanya dalam kurun waktu enam tahun harimau sumatra kemungkinan telah punah dari sepuluh bentang alam.
Bagaimana dengan ancaman perburuan harimau dan terbunuhnya harimau akibat berkonflik dengan manusia? Satu kajian yang cukup menyeluruh tentang intensitas konflik antara manusia dengan harimau sumatra mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 2001 dan 2016, setidaknya ada delapan ekor harimau menjadi korban konflik setiap tahunnya. Kajian lain mengenai perdagangan harimau global antara tahun 2000 dan 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara pemasok bagian tubuh harimau ketiga tertinggi di dunia setelah India dan Thailand. Jika rentang kajian dikerucutkan menjadi antara tahun 2012 dan 2018, Indonesia bahkan menempati urutan pertama negara pemasok bagian tubuh harimau dalam perdagangan satwa internasional.
Berbagai informasi tersebut di atas mengarah pada indikasi kuat bahwa upaya konservasi harimau sumatra yang telah diperkuat oleh Pemerintah Indonesia dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir belum cukup untuk meredam dampak dari berbagai ancaman utama terhadap keberadaan harimau sumatra. Oleh karena itu, penulis menduga adanya faktor-faktor laten lain yang mungkin berperan dalam berbagai bentuk ancaman tersebut. Apa saja faktor-faktor tersebut, tentu memerlukan kajian mendalam lebih lanjut. Sebagai contoh, kalau pada manusia saat ini sedang terjadi pandemi Covid-19, babi hutan, salah satu satwa mangsa utama harimau sumatra, saat ini juga sedang mengalami pandemi virus mematikan yang dikenal dengan nama African Swine Fever (ASF). Pertama kali dilaporkan sebagai wabah di China pada tahun 2018, hingga saat ini kematian mendadak puluhan babi hutan, diduga akibat ASF, dilaporkan telah terjadi di seluruh propinsi di Pulau Sumatra. Studi literatur yang dilakukan penulis memberikan indikasi penurunan indeks kelimpahan babi hutan di beberapa bentang alam harimau sumatra. Apakah keduanya saling berkaitan, tentu lagi-lagi memerlukan kajian mendalam lebih lanjut.
Pesan utama dari semua peristiwa di atas adalah, bahwa ancaman terhadap eksistensi harimau sumatra akan terus berlanjut, baik dalam hal kualitas, kuantitas, maupun bentuknya. Ancaman yang saat ini kita anggap penting untuk segera ditangani, mungkin sudah tidak menjadi utama lagi sepuluh tahun mendatang. Di lain sisi, ancaman dalam bentuk lain mungkin saat ini sedang bermain dan luput dari perhatian kita semua. Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah dalam menyikapi dan mengantisipasi berbagai bentuk ancaman tersebut. Dalam hal ini, kapasitas ilmiah berbagai pihak yang berkepentingan, terutama para praktisi konservasi, menjadi faktor penentu. Hanya dengan kapasitas ilmiah yang memadai dan terkini berbagai bentuk ancaman tersebut dapat dievaluasi secara obyektif dan diantisipasi untuk kemudian dikendalikan.
Berbagi Peran
Kembali pada kesadaran kolektif para pemimpin negara pemilik harimau, bahwa diperlukan kerja sama dan peran aktif berbagai pihak agar upaya pemulihan populasi harimau dapat mencapai sasarannya. Dengan kata lain, nasib baik harimau sumatra di masa yang akan datang tidak dapat bergantung hanya pada para praktisi konservasi yang saat ini sedang bekerja saja. Diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh komponen masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda, untuk turut berperan aktif sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sebagai penerus, generasi muda dapat berperan aktif dalam upaya konservasi harimau sumatra dalam berbagai bentuk aktivitas. Misalnya, bahkan sesederhana pemanfaatan media sosial oleh generasi muda dalam menggaungkan pentingnya melidungi harimau sumatra ke khalayak umum-pun sudah merupakan kontribusi yang sangat luar biasa. Namun di lain sisi, penulis juga ingin menggaris bawahi pentingnya lebih banyak scholars dari anak muda yang secara intensif dan proaktif bekerja di lapangan, untuk berperan sebagai penghubung antara para pekerja lapangan dengan dunia ilmiah dalam bidang konservasi satwa liar. Dengan demikian, maka alur keilmuan dan landasan ilmiah dapat diterapkan dan berperan dari hulu hingga hilir, dari tingkat tapak hingga tingkat kebijakan strategis. Setelah punahnya harimau jawa dan harimau bali, harimau sumatra adalah satu dari hanya dua karnivora besar yang masih dimiliki bangsa Indonesia saat ini, lainnya adalah macan tutul jawa. Kedua karnivora besar ini adalah living treasures yang wajib kita lestarikan untuk anak cucu kita.
*Pendiri dan Anggota Dewan Penasihat Forum Harimau Kita
SHARE: