...

22 Oktober 2020

Menggantungkan Harapan dari Pengelolaan Hutan di Napasingkam

masa depan Dusun Napasingkam

masa depan Dusun Napasingkam

HUMBANG HASUNDUTAN, Sumatera Utara.   – Suara anak-anak di pos pelayanan terpadu (posyandu) di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara riuh ‘memecah’ pagi. Sebagian dari mereka menangis karena ketakutan saat ditimbang, sebagian lagi sedang asyik sarapan bubur kacang hijau. Ada juga yang malu-malu saat diukur tinggi badannya.

Di saat itu pula beberapa pria paruh baya tampak bersiap menuju ladang dengan membawa beberapa peralatan; parang, tali, dan guris untuk menderes getah karet. Di dusun yang dihuni sekitar 120 kepala keluarga (KK) ini, masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Saat itu sudah pukul 09.00 wib, namun kabut masih menyelimuti perbukitan.

Sembari menunjukkan arah menuju ladang, Bistok Hasugian menyelipkan parang bersarung di pinggang kirinya. Dibutuhkan waktu 10 menit menuju  ladang yang ditanami rambung (pohon karet). Usianya pohon umumnya sudah tua dan tidak lagi produktif. Sudah banyak masyarakat yang menebanginya. “Apalagi getah sekarang tidak ada harganya. Banyak yang tidak lagi diambil. Dibiarkannya di situ,” katanya, akhir pekan lalu.

Menuju ladang, harus melewati hamparan sawah dan menyeberangi sungai dengan getek bambu. Hanya satu atau dua orang saja yang bisa diangkut sekali menyeberang. Untuk memudahkan penyeberangan, masyarakat memasang tali sling yang terikat di pohon pada dua sisi.

Masyarakat di dusun inilah yang tahun 2017 mendapatkan izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 391 hektare dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa komoditas hasil hutan non kayu seperti rotan, gambir, madu menjadi potensi dusun ini untuk meningkatkan kesejahteraannya sekaligus menjaganya dari kerusakan. Di antara pepohonan karet, ada petai, durian dan kopi.

“Sekarang ini belum musimnya panen petai. Bulan Oktober nanti baru banyak-banyaknya,” ujar Bistok sepekan  lalu.

Warga Napasingkam panen petai dari lahan HKm-nya. Petai menjadi salah satu Hasil Hutan bukan kayu (HHBK) yang dimanfaatkan warga untuk menambah added value dari lahannya.

Warga Napasingkam panen petai dari lahan HKm-nya. Petai menjadi salah satu Hasil Hutan bukan kayu (HHBK) yang dimanfaatkan warga untuk menambah added value dari lahannya.

Satu kendala utama yang masih dialami masyarakat adalah akses jalan. Betapa tidak, dari Ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan, Dolok Sanggul, menuju Desa Tarabintang sejauh 80 km, dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam. Sekitar 20 km selanjutnya, melewati Desa Simbara, Sitanduk dan Mungkur sejauh 20 km namun dengan waktu tempuh dua jam karena rusaknya kondisi jalan.  Di dusun ini, bahkan telepon tidak bisa digunakan karena ketiadaan sinyal.

Sementara itu, jarak Medan menuju Dolok Sanggul sejauh sekitar 250 km dengan waktu tempuh sekitar 6 jam perjalanan dengan bus atau kendaraan pribadi. “Sebenarnya ada jalan tembus dari Napasingkam ke Tarabintang, melewati Desa Lae Hundulan, hanya 12 km, tapi pembukaannya terhenti entah kenapa,” katanya.

Jika saja jalan tembus tersebut sudah bisa dilewati, maka akan memudahkan masyarakat untuk menjual hasil hutan bukan kayu yang diproduksinya secara legal dengan adanya IUPHKm. Komoditas rotan, kata dia, sangat banyak ditemukan di konsesi yang dikelola oleh HKm Gapoktan Napasingkam Sejahtera.

“Dengan kondisi sekarang ini, medan yang sulit, kita sudah menjual sekitar 50 ton rotan ke Medan, dan sekitarnya,” katanya.

Lahirnya IUPHKm di Napasingkam tidak lepas dari pendampingan  Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan. Koordinator Lapangan Yayasan Caritas PSE KAM pada Project Tropical Forest Conservation Action (TFCA) – Sumatera, Leo Karmelo Tarigan mengatakan, pihaknya turut upaya pelestarian dan perlindungan berbasis potensi kawasan.

Berbagai aktifitas sudah dilakukan untuk memberdayakan masyarakat secara ekonomi. Misalnya dari pendidikan, pelatihan di bidang pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan. “Terlebih dengan adanya Koperasi Serba Usaha (KSU) Dolok Sion, masyarakat bisa mengakses bantuan dengan bunga ringan sehingga bisa membantu atau memperluas atau menjadikan usahanya semakin besar,” katanya.

Selain itu juga ada bantuan tunai atau bibit pertanian seperti jagung, padi, pupuk dan lain-lain. Masyarakat juga diintroduksi tanaman yang menunjang ekonomi, misalnya bibit multiple purposes trees seeds (MPTS) seperti asam glugur, petai, jengkol, dan lain sebagainya.

Sebagai lembaga yang berbasis bukan lingkungan, kata dia, pihaknya mengembangkan pola partisipatif sehingga masyarakat dilibatkan secara aktif . Di wilayah Napasingkam ini dari peta koridor lanskap yang dicanangkan TFCA-Sumatera, lebih pada proteksi dibandingkan kerusakan lingkungan lain, karena lingkungannya masih terjaga dengan baik.

“Ini lebih pada proteksi. Pencegahan. Bukan menanam bibit yang sama tapi pengayaan. Sehingga masyarakat bisa ambil manfaat,” katanya.

Dalam pendampingan selama lima tahun, setidaknya ada lima komponen yang dikerjakan, diawali dengan kajian baseline data yang hasilnya digunakan kembali untuk penyempurnaan program. Kemudian, pelaksanaan rehabilitasi seluas 300-an hektare. Ketiga, peningkatan ekonomi masyarakat sebesar 20%, sebagaimana terlihat dari hasil paparan peneliti LPPM Universitas Katolik Santo Thomas Medan,  Godlif Sianipar dan Antonius Purba.

“Ini dicapai karena ada bidang atau faktor pendukung, yakni diversifikasi usaha masyarakat muncul. Tak hanya dari getah karet. Tapi sudah memulai usaha menambah penghasilan dari rotan, peternakan, perikanan, budidaya lebah madu,” katanya.

Kemudian, dari sisi kebijakan Caritas menginisiasi terbitnya peraturan desa (Perdes) terkait HKm yang  sudah disahkan dan diberlakukan. Di dalamnya juga mengatur tentang upaya pelestarian lingkungan dan tidak memperparah kerusakan yang ada. Menurutnya, setelah adanya HKm, bersama masyarakat dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) XII Tarutung pihaknya sudah menyelesaikan rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan (RKU & RKT) begitu juga dengan pemetaan zonasi.

“Ada juga bantuan untuk pengembangan lebah madu dari KPH XII Tarutung dan Litbang Aek Nauli. Bantuan lainnya berupa pemeras getah gambir dari  Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah Sumatra. “Terakhir kita juga sudah menerbitkan tiga buku tentang potensi tanaman obat, pengembangan masyarakat dengan manfaatkan aset yang ada, dan community based development dalam pelestarian alam,” katanya.

SHARE:
Berita lainnya