...

22 Oktober 2020

Menyesap Kopi Menyelamatkan Sibual-buali

Sekelompok orang tampak sedang mengerumuni sebuah gerai kopi  dadakan di pojok Goethe Institut Jakarta.  Mereka sedang menyimak penjelasan yang sedang disampaikan dengan semangat oleh salah satu volunteer panitia STOS yang memakai kaos berwarna merah marun.

Yang sedang diperbincangkan adalah masih adanya ketakpahaman yang menghubungkan antara menikmati kopi dengan menyelamatkan cagar alam.  “Ah, kejauhan Pak hubungannya”, ungkap seorang anak muda yang menunjukkan mimik ingin tahu.  Dengan sabar si penjaga stand menjelaskan bahwa dengan membeli kopi dari masyarakat, berarti ikut membantu pemasaran produk masyarakat yang mendapatkan hasil tambahan dari memungut kopi yang difermentasi oleh luwak.

IMG20140315174356“Masyarakat tidak perlu pergi jauh ke hutan untuk mencari tambahan.  Mereka pun tidak harus melakukan perburuan satwa untuk dijual” ujar sang penjaga.  Ia menambahkan, bahwa masyarakat justru jadi menyadari betapa pentingnya kelestarian alam dan menjaga keseimbangan kehidupan satwa yang ada di sana sehingga mereka rela menjaganya tanpa harus dihimbau atau dipaksa.  Sang anak muda pun manggut-manggut tanda setuju.

Sementara itu,   dari balik gerai kopi,sepasang tangan dengan cekatan membersihkan gelas-gelas kecil, menakar gula aren dan menyeduhkan sampel kopi luwak untuk dihidangkan pada pengunjung yang antusias.  Ia terlihat sibuk namun tetap sigap melayani permintan pengunjung gerainya.

Tono, yang sibuk menyiapkan kopi luwak panas, datang dari Mandailing Sumatera Utara untuk mengikuti pameran yang diselenggarakan dalam rangka South to South Film Festival (STOS)  tanggal 14-18 Maret di Jakarta.  TFCA-Sumatera memfasilitasinya untuk membuka gerai di festival tahunan yang memutar film dari sesama negara berkembang ini.  Harapannya adalah kesempatan ini dapat menjadi ajang bagi Tono untuk mempromosikan kopi luwak binaan Petra agar mendapatkan pasar yang lebih luas.

Dengan harga yang cukup premium, berkisar antara 180 ribu rupiah per ons untuk jenis kopi gayo hingga 230 ribu rupiah per ons untuk jenis peaberry, jelas sulit untuk dipasarkan jika hanya mengandalkan pasar lokal.  Harga setinggi ini dikarenakan kopi luwak yang dihimpun oleh para petani yang tergabung dalam kelompok “Tujuh Pamuka’ dan kelompok “Sahata” di daerah Mandheling Sumatera Utara diambil dari luwak liar yang tidak dipelihara secara khusus.  Produksinya pun tergantung dari hasil “produksi” sang Luwak yang jumlahnya berkisar 180 ekor yang bebas mengembara di ladang kopi seluas 90 hektar.

Dalam beberapa hari pameran, Tono telah mendapat konsumen yang membeli produk yang dibawanya, juga kontak untuk menjalin kerjasama pasca pameran.   Tono pun berdoa dan menaruh harap agar kali ini misinya berhasil membuka pasar baru bagi produk yang dihasilkan kawan-kawan petaninya nun di dataran tinggi Mandheling .(as)

SHARE:
Berita lainnya