...

22 Oktober 2020

Report : Dukungan TFCA-Sumatera untuk Perhutanan Sosial 2010 – 2019

Istilah Perhutanan Sosial merupakan aplikasi dari konsep “forest for people” yang dicanangkan pertama kali dalam Kongres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta 1978. Konsep tersebut mengatakan bahwa masyarakat diberi akses untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Lalu pemikiran tersebut berkembang, dimana pada tahun 2000-an muncul program yang disebut “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)” dan dilaksanakan oleh Pemerintah ataupun Badan Usama Milik Negara (BUMN). Kemudian pada tahun 2014, diterbitkan Permenhut 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatakan (HKm) dan disempurnakan kembali menjadi Permen LHK 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Skema tersebut memudahkan proses pengusulan Hutan Desa, HKm, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan oleh masyarakat.

Pada tahun 2011 TFCA-Sumatera mulai mendorong skema PHBM lewat mitranya KKI-WARSI dengan skema Hutan Nagari/Desa di Jambi dan Sumatera Barat. Tahun 2012 mitra Akar Network mendorong 2 Hutan Adat untuk dimasukkan dalam skema Perhutanan Sosial. Tahun 2013 mendukung program Hutan Kemasyarakatan (HKm) KORUT. Tahun 2014 mendorong program HKm Yayasan Caritas. Tahun 2015 mendorong HKm PETRA dan PETAI.

Hingga dengan tahun 2019, TFCA-Sumatera telah mendorong izin perhutanan sosial seluas 66.884 ha dari kontribusi 6 mitra di seluruh Sumatera. Jika dikonversi ke dalam capaian nasional, maka TFCA-Sumatera dan mitra-mitranya berkontribusi sebesar 2,5 % (Statistik Perhutanan Sosial, Agustus 2019).

Perhutanan Sosial yang telah didorong TFCA-Sumatera terdiri dari 46 jenis Persos yang meliputi 9 izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) / Hutan Nagari seluar 19.907 ha, 35 izin IUPHKm seluas 46.249 ha, dan 2 izin Hutan Adat seluas 728 ha. Proses mendorong 46 izin Persos tersebut telah melibatkan 73 jenis kebijakan mulai dari SK Kepala Desa sampai dengan SK Menteri LHK yang diupayakan oleh para mitra.

Perhutanan Sosial TFCA-Sumatera tersebar ke dalam 4 provinsi dan 7 kabupaten yaitu Pakpak Barat, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan – Sumatera Utara, Kerinci, Bungo – Jambi, Solok Selatan – Sumatera Barat, Tanggamus – Lampung; yang termasuk dalam 4 Bentang Alam (TN Batang Toru Batang Gadis, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan DAS Tobat Barat).

Masyarakat yang terdampak baik langsung maupun tak langsung adalah 28.508 Kepala Keluarga (KK) dengan membentuk atau mendorong pembentukan lembaga Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebanyak 46 gapoktan. Serta membangun 12 koperasi. Mayoritas komiditi yang dikembangkan oleh masyarakat adalah kopi, pala, jernang, kayu manis, karet, durian, petai, dan rotan. Kopi menjadi primadona komiditi untuk masyarakat dampingan seperti kopi Robusta Tanggamus, Kopi Arabika Kerinci di Sungai Penuh, dan Kopi Sopirok di Tapanuli Utara.

Melalui skema perhutanan sosial ini, telah menumbuhkan ekonomi mikro masyarakat. Misalnya di Tanggamus, penelitian KORUT tahun 2008 memperlihatkan bahwa pendapatan terendah masyarakat dari HHBK adalah Rp 1,1 juta tiap tahun tetapi setelah ada HKm, pendapatan terendahnya menjadi Rp 4,1 juta tiap musim panen. Selain itu, melalui komoditas-komoditas unggulan tersebut, masyarakat juga mendapatkan bantuan sampai dengan Rp 5,65 Miliar diantaranya melalui Bank BRI Indonesia dengan skema Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Bank Indonesia, BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Desa, dan lain-lain. Pinjaman digunakan sebagai modal masyarakat untuk mengelola lahannya.

Selain dampak yang berupa materi, ada pula dampak yang terkait dengan konservasi, misalnya pengelolaan hutan sebagai daerah tangkapan air dan sumber listrik masyarakat seperti di HKm Aek Rau Lestari di Tapanuli Utara. Sumberdaya air dari kawasan hutan tersebut mampu menggerakan turbin mikrohidro sebesar 10.000 watt dengan daya terbangkit hingga 30.000 watt. Masyarakat mendayagunakan air untuk memutarkan kincir turbin sehingga dapat menerangi 44 rumah di daerah.

Mereka dapat memanfaatkan sumberdaya listrik setelah berpuluh-puluh tahun desa mereka gelap tanpa penerangan. Selain turbin mikrohidro milik masyarakat Aek Mateo, HKm tersebut juga menjadi sumber air dan perlintasan sungai untuk Aek Into dan Aek Huccim. Keseluruhan aliran sungai ini akan bergabung menjadi satu DAS yakni Aek Raisan. Keberadaan sungai Aek Raisan sangat strategis karena aliran sungai ini menjadi suplai debit air untuk PLTA Aek Raisan I sebesar 20 MW, PLTA Aek Raisan II sebesar 20 MW hingga berkontribusi pada PLTA Sipan Sipahooras sebesar 220 MW.

Selain insentif ekonomi, proses pengelolaan perhutanan sosial telah mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam melindungi kawasan lindung. Berikut beberapa indikator perubahan paradigma masyarakat dalam melindungi kawasan lindung tersebut :
1. Masyarakat menjaga tutupan kawasan hutan tersisa melalui rehabilitasi dan patroli kawasan secara mandiri
Perhutanan sosial telah mendorong rehabilitasi dan patroli kawasan secara mandiri di Hutan Lindung Register 39 Kota Agung Utara. Masyarakat menerapkan sistem tumpang sari. Konsorsium Kota Agung Utara, sebagai pendamping HKm seluas 43 ribu ha, telah mewajibkan setiap anggota HKm untuk menanam tanaman keras di sela-sela tanaman perkebunan mereka. Minimal 400 batang setiap 1 ha serta sudah lebih dari 460 ribu bibit tanaman komoditi dan kayu keras ditanam di lahan perhutanan sosial masyarakat.. Masyarakat juga didampingi untuk menerapkan sistem patroli kawasan. Patroli ini dilakukan secara mandiri oleh masyarakat anggota HKm. Mereka akan melakukan patroli di wilayah HKm masing-masing. Upaya perlindungan hutan ini dianggap berhasil karena ada kepedulian masyarakat untuk terlibat aktif menjaga kawasan hutan dan menurunnya angka kebakaran hutan.
2. Masyarakat melindungi kawasan hutan melalui pencadangan kawasan lindung di dalam hak ulayat masyarakat adat
Penunjukan Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam dan Tigo Luhah Kemantan seluas 728 ha membuat hutan ini semakin kuat statusnya di dalam struktur masyarakat. Masyarakat sekitar mencadangkan hutan ini sebagai kawasan “konservasi” untuk dilindungi bersama. Mereka menerapkan aturan adat untuk tidak boleh mengkonversi menjadi kawasan kebun atau ladang. Norma-norma aturan adat juda diberlakukan seperti dilarang mencuri kayu dan menerapkan denda 1,5 juta rupiah bagi pencuri kayu tersebut. Masyarakat juga melakukan patroli dalam kawasan adat tersebut. Disamping adanya patroli rutin, mereka juga melakukan patroli dadakan jika diperlukan. Misalnya ketika ada laporan adanya pencurian kayu atau perburuan. Masyarakat bergotong royong untuk menjaga kawasan adat mereka.
3. Masyarakat menjaga daerah tangkapan air dan jasa lingkungan lainnya
HKm Aek Rau Lestari dan Tani Martuah, 2 HKm dampingan Petra di Tapanuli Utara, didorong penetapannya untuk dimanfaatkan sebagai kawasan jasa lingkungan dan ekowisata. Masyarakat secara sadar mengetahui arti pentingnya hutan bagi sumber air dan listrik mereka. Kesadaran tersebut mendorong masyarakat desa Aek Mateo Jae untuk mengurus izin hutan di sekitar mereka untuk dijadikan HKm. Mereka memanfaatkan HKm Aek Rau Lestari sebagai kawasan daerah tangkapan air sebagai sumberdaya mikrohidro
4. Menjadi alat resolusi konflik
Pada tahun 1998 sampai dengan 2008 banyak masyarakat sekitar kawasan hutan di Kota Agung Utara yang berkonflik dengan pemangku kepentingan. Pada masa itu adalah saat masyarakat harus ‘kucing-kucingan’ dengan pemangku kepentingan. Masyarakat banyak yang hidup mengandalkan kopi-kopi dan komoditi lainnya dari dalam hutan lindung. Mereka merasa bahwa lahan tersebut dari dulu memang diperuntukan untuk lahan perkebunan. Mereka tidak mengetahui kalau lahan tersebut merupakan kawasan hutan.Menurut sebagian masyarakat lagi, sebelum tahun 1990-an lahan tersebut merupakan lahan perkebunan yang diolah oleh orang-orang terdahulu. Beberapa masyarakat masuk ke dalam daerah tersebut karena transmigrasi dari pemerintah. Sementara pada satu sisi, pemerintah yang berkuasa pada waktu itu menganggap bahwa kawasan tersebut merupakan areal hutan lindung. Hal ini memicu potensi konflik lahan. Tak hanya konflik vertikal dengan pemerintah, tetapi juga potensi konflik horizontal antar masyarakat yang berebut lahan.
Pada kurun tahun 2008 sampai dengan 2014 masyarakat mengajukan izin HKm setelah mendengar sosialisasi dari Dinas Kehutanan. Sampai dengan sekarang melalui percepatan pemberian izin HKm, masyarakat telah banyak mendapatkan akses kelola kawasan. Melalui izin Perhutanan Sosial, masyarakat dapat fokus mengelola komoditas mereka namun tetap harus menjaga kelestarian hutan sekitar. Setelah adanya Persos, pendapatan masyarakat meningkat berkali-kali lipat, kesadaran melindungi kawasan hutan semakin tinggi, dan konflik lahan dapat diselesaikan. (yan)

SHARE:
Berita lainnya