...

22 Oktober 2020

Dilema Tiada Akhir Gajah Sumatra

Hari telah lindap, tapi senja bukanlah lonceng istirahat sebagaimana yang lazim menjadi rutinitas di beberapa wilayah. Desa penyangga Way Kambas belum bisa tidur meskipun malam sudah menjelang, mamalia penghuni taman nasional Elephas Maximus Sumatrensis justru baru akan merangsek masuk ke area pertanian warga. Dan benar saja, sekelompok gajah liar berhasil menerobos blokade malam itu di Tegal Yoso. Kejadian ini sangat disayangkan oleh Sakipul Mustofa (45 tahun), warga desa Labuhan Ratu IX, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur. Pak Sakipul adalah salah seorang mahout di Elephant Respons Unit Margahayu yang berjarak sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor dari Plang Ijo —pintu gerbang Taman Nasional Way Kambas. Alih-alih mentalnya surut mendengar berita kawanan liar masuk ke area pertanian, kejadian tersebut justru menjadi tantangan sekaligus pembakar semangatnya dalam berpatroli, sebab menjadi mahout adalah salah satu cara Sakipul mengambil peran dalam penanggulangan konflik gajah-manusia di sepanjang batas antara Taman Nasional Way Kambas dengan desa penyangga. “Yang namanya konflik itu gak akan ada habisnya, Mas. Gajah itu lho pintar,” ungkapnya saat sedang duduk beristirahat makan siang di beranda ERU Camp Margahayu. “Dulu kita pake bunyi-bunyian yang keras mereka langsung kabur, lha sekarang nggak mempan lagi,” ungkapnya.

Pengalaman selama 25 tahun menjadi mahout tentulah cukup untuk melegitimasi pernyataannya terhadap gajah. Berawal dari merawat seekor gajah kecil di Pusat Latihan Gajah (PLG) dan memulai karirnya sebagai asisten mahout untuk gajah sirkus, Sakipul tak keberatan hanya digaji pas-pasan saat itu. Kecintaannya terhadap salah satu satwa raksasa terancam punah tersebut tak terpatahkan oleh materi. Kesabarannya dalam merawat, melatih, dan menjalin komunikasi dengan gajah sudah teruji. Mahout —pawang gajah orang bilang— bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan, dipandang sebelah mata adalah tempaan mental yang membentuk seorang Sakipul Mustofa saat ini, yang duduk di leher seekor gajah jinak paling besar di ERU Margahayu bernama Toni. Dari atas Toni, pak Sakipul mendongengkan kisah hidupnya, dengan emosi yang kental dan mata merah ia berkata sambil menahan tangis, “Toni sudah saya anggap anak sendiri,” ucap pak Sakipul sambil menyeka mata dengan sebelah tangannya.
Meskipun Toni bukanlah gajah pertama yang ia rawat, namun sejak “jalan bersama” dengan Toni, pak Sakipul merasakan keajaiban-keajaiban dalam hidupnya, salah satu yang paling ia syukuri adalah diangkat sebagai PNS. Sejak mendapatkan “SK” sebagai mahout, semakin besarlah kecintaan Sakipul terhadap gajah. “Wong saya bisa hidup dari gajah, Mas. Saya menafkahi keluarga, sanggup bikin rumah dan punya ternak sapi itu semuanya hasil dari merawat gajah,” katanya.

Menurut cerita pak Sakipul, gajah akan selalu mencari celah agar bisa keluar dari kawasan taman nasional untuk masuk ke lahan pertanian warga. Ini bukan persoalan tim patroli yang tidak efisien dalam melakukan blokade, pembatas alami sungai dan tanggul yang tidak berfungsi, atau warga yang lengah saat di kebun sehingga kepergok kawanan gajah liar. Akan tetapi gajah akan selalu berusaha menyebrangi batas sesuai arahan instingnya untuk mencari makan. Bahkan gajah-gajah liar tersebut sudah paham dengan jadwal rutin patroli. Sakipul mengambil sebuah contoh kasus yang terjadi di ERU Camp Margahayu. Sekitar 2 bulan yang lalu, malam hari, para mahout yang sedang berjaga di ERU Camp dibuat terkejut dengan suara gaduh dan bunyi rantai. Beberapa ekor gajah menjerit dan lari, termasuk Daeng dan Toni yang merupakan 2 ekor gajah jantan dewasa dengan tubuh yang cukup besar. Setelah dicek ternyata ada seekor gajah jantan soliter yang menyusup, Dugul namanya, gajah paling besar yang pernah dilihat oleh Sakipul seumur hidupnya.

“Kita yang di ERU Camp aja kecolongan lho, Mas. Tiba-tiba aja kawan-kawan udah denger suara gaduh,” cerita Sakipul. Keesokan paginya seluruh gajah jinak yang ada di ERU Camp tersebut dicek satu persatu. Benar saja, Cuni —seekor gajah betina dengan tubuh cukup besar— menjadi korban keganasan Dugul. Terdapat 3 luka gigitan di bagian ekornya. Hal ini dikonfirmasi oleh drh. Esti, salah seorang dokter hewan yang bertugas di Pusat Latihan Gajah. “Gajah juga sering berduel, Mas. Dan gajah yang kalah dalam berduel akan membelakangi gajah pemenang, sehingga bagian belakang badan akan menjadi sasaran, terutama bagian ekor,” ungkap drh. Esti. “Awalnya saya mendapat pesan di whatsapp bahwa semalam Dugul menyerang ERU Camp Margahayu, seekor gajah betina menjadi korban. Lalu saya minta fotokan lukanya, dikirimlah foto ekor Cuni. Saya lihat di foto lukanya cukup parah, saya langsung datang ke sini. Cuni kemudian kami giring ke rumah sakit gajah di PLG, melihat kondisi luka yang cukup parah, saya memutuskan untuk mengamputasi ekor Cuni tersebut. Tapi setelah saya amputasi sekali, ternyata luka di bagian ekor yg lain makin memburuk, saya amputasi lagi. Setelah beberapa saat, luka yang lain malah tambah busuk, maka saya lakukan amputasi ketiga. Saya lihat kondisi luka di ekor Cuni cukup parah, saya tak mau ambil resiko kalau-kalau luka tersebut membusuk, lebih baik diamputasi saja,” jelasnya.

Kejadian serupa ini memang pernah beberapa kali terjadi. Ini baru di satu titik di ERU Camp, sedangkan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) luasnya mencapai kurang lebih 1.300 km persegi. “Kalau untuk kehidupan gajah ini, dia kan lebih aktif di malam hari. Mereka cari pakan, minum, terus kalau siang gini biasanya mereka cari tempat yang teduh,” kata Tri Sulistiono (46 tahun) salah seorang mahout senior yang sudah berstatus pegawai negeri. “Di pinggiran ada kelompok gajah konflik, itu jumlahnya kurang lebih 45 ekor, secara home range-nya mereka tidak pernah masuk terlalu jauh, paling jauh 2km dari pinggir kawasan. Malam hari kelompok ini lebih sering keluar ke ladang atau sawah masyarakat,” ceritanya tentang sebuah kelompok gajah liar yang menjadi fokus utama tim patroli.

“Kelompok gajah yang ini home range-nya mereka itu dari utara sampai ke selatan, utara-selatan, itupun selalu di pinggiran. Misalnya mereka di wilayah selatan seperti di sini, kadang ya 20 hari, kadang 15 hari, di mana mereka betah di situ karena mereka bisa keluar ke tanaman padi, jagung. Tapi kalau blokade kita kuat mereka nggak bisa keluar, akhirnya mereka bosan juga. Nanti mereka akan bergerak lagi ke utara. Nah, kalau di utara mereka juga nggak bisa keluar dan bosan, nanti akan kembali lagi ke sini. Begitu seterusnya, bolak-balik, bolak-balik. Itu memang kalau kita bicara sejarah taman nasional, kan dahulu ada namanya Operasi Ganesha, itu gajah-gajah yang dari luar Way Kambas digiring, jadi dimasukkan ke dalam kawasan sehingga dia mungkin merasa bahwa ini bukan habitatnya. Jadi mereka akan selalu teringat di memori mereka bahwa ini home range saya, home range gajah tersebut. Jadi mereka tetap keluar masuk,” jelas Sulistiono.

Bicara tentang daya ingat gajah, Putra (25 tahun) salah seorang asisten mahout di ERU Camp Braja Harjosari bercerita tentang Josh, gajah jantan remaja yang ia rawat. “Namanya Josh, tapi karena di sini banyak lidah Jawa dan agak susah manggil Josh, akhirnya disingkat jadi Jo aja,” jelas Putra ketika memperkenalkan gajah berusia kurang lebih 15 tahun tersebut. “Jo ini trauma ama Christoper,” lanjutnya. Berdasarka cerita Putra, Jo pernah dikasih obat melalui makanannya oleh drh. Christoper Streme. Beberapa saat setelah mengunyah, Jo memuntahkan lagi makanannya karena tanpa sengaja dia merasakan sesuatu yang pahit dalam makanan yang disuapi oleh Chrisptoper tersebut. Jadi, Jo trauma setiap kali melihat Christoper, bahkan dia menolak ketika hendak digiring menuju tenda penimbangan dan pengecekan rutin.

Putra adalah anak dari salah seorang mahout di PLG. Awal mengenal gajah ketika dia sering ikut ayahnya ke PLG dan membantu bersih-bersih kandang gajah ketika berusia 8 tahun, sejak saat itu Putra menjadi tertarik dengan gajah dan memulai karirnya sebagai asisten mahout. Pengalaman “memegang” gajah selama kurang lebih 17 tahun rasanya cukup untuk meyakinkan kita tentang pernyataannya terhadap gajah. Pahit manis dan asam garam dengan gajah sudah ia lalui, bahkan Putra tak begitu mempedulikan soal honor yang ia terima. “Yang penting saya dekat dengan gajah,” katanya.
Tropical Foret Conservation Action for Sumatera (TFCA-S) mendukung kerja keras para mahout di Elephant Respons Unit ini melalui mitranya yaitu Komunitas untuk Hutan Sumatra (KHS). Bersama dengan donor yang lain, TFCA-Sumatera menyalurkan hibah untuk memastikan kelangsungan hidup gajah di kawasan Taman Nasional Way Kambas, karena kita semua sadar bahwa kerja konservasi tidak bisa dilakukan oleh satu pihak, dia membutuhkan kerjasama. Dan mahout adalah ujung tombak dari upaya perlindungan gajah sumatra, habitatnya, serta perlindungan terhadap masyarakat yang sepaket dengan lahan pertanian mereka. Dedikasi para mahout ini terhadap upaya pelestarian gajah sumatra tidak bisa diukur melalui data di atas kertas atau grafik dalam tayangan slide power point.

Mereka berjuang melawan dingin malam di pos jaga, bahkan kombatan nyamuk rawa tak sanggup menghadang mereka dalam mengamankan kawasan perbatasan antara taman nasional dengan lahan pertanian warga setempat. Meninggalkan keluarga adalah makanan sehari-hari, jangan ditanya apakah honor yang mereka terima cukup atau tidak. Hati mereka sudah terpaut dengan pasak yang tertancap di pinggiran kawasan taman nasional, visi mereka adalah hidup berdampingan dengan damai. Bahkan ketika dunia dihantam badai pandemi, para mahout ini tetap mempertaruhkan kesehatan mereka dengan terjun rutin ke lapangan. Mengamankan perbatasan dan menggiring kawanan gajah liar jelas tidak bisa dilakukan melalui aplikasi zoom meeting. Karena gajah liar tak kenal protokol kesehatan, dan konflik tak mengenal waktu, para mahout ini harus tetap siaga dengan mengesampingkan ocehan media terhadap pentingnya menerapkan 3M.

Selagi angin barat bertiup membawa aroma manis daun jagung, selagi angin barat berembus menebarkan aroma lembut bunga padi, selama itu pula kawanan gajah liar akan mengikuti instingnya menerobos blokade menuju lahan peranian warga. Ditambah dengan tidak adanya buffer zone, Taman Nasional Way Kambas harus bersepadan langsung dengan pematang sawah masyarakat. Dua area ini hanya dipagari oleh sebatang sungai dengan tanggul di sepanjang sisinya, ini semakin mudah ditembus oleh mamalia raksasa tersebut dengan kontur Way Kambas yang datar dan merupakan hutan hujan tropis dataran rendah. Istilah “berebut ruang hidup” jelas menunjukkan arogansi kita sebagai manusia, dan mengupayakan konflik gajah-manusia hingga ke titik nadir tentu sangat berat, sebab itu adalah dilema tiada akhir. (Gusri Wandi – Faswil Tengsel)

SHARE:
Berita lainnya