...

22 Oktober 2020

Kemah Konservasi, Upaya Melestarikan TWA Seblat

Penyampaian materi di luar kelas. Seorang pegawai TWA Seblat sedang memberikan pembelajaran.

Penyampaian materi di luar kelas. Seorang pegawai TWA Seblat sedang memberikan pembelajaran.

Subuh itu, riuh-rendah tawa anak-anak remaja itu mulai terdengar. Sebagian dari mereka telah keluar dari tenda sederhananya menuju sumber air terdekat. Ada yang membasuh mukanya,  adapula yang mencuci peralatan memasak. Sisanya, tampak tetap di dalam tenda, memasak air atau membuat sarapan.

Pagi itu, para remaja tersebut bersiap mengikuti materi hari kedua kegiatan Kemah Konservasi di camping ground Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Bengkulu. Sebuah tempat di tepi hutan, pinggir Sungai Seblat.

Terang kian beranjak. Seragam cokelat telah terpakai rapi di tubuh mereka, sementara buku catatan tersemat di tangan. Rasa capek dan lelah tak tampak, meski itu hari kedua. Semangat terpancar di wajah para muda-mudi praja muda karana (pramuka) itu untuk mengikuti materi-materi tentang konservasi hutan dan lingkungan. Mereka terdiri atas siswa-siswi SMA dan  anggota karang taruna di sekitar wilayah taman wisata alam, yang tergabung dalam Satuan Karya Pramuka (SAKA) Wanabakti Marga Sakti, Seblat.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan ketika kita berada di hutan dan alam liar lainnya?” tanya salah seorang pemateri kemah kepada peserta.

“Tidak boleh membuang sampah sembarangan, Kak,” jawab peserta.

“Tidak boleh merusak sumberdaya yang ada. Dilarang memberi makan binatang liar,” sambung mereka.

Sharing bersama tentang materi konservasi.

Sharing bersama tentang materi konservasi.

Meski cerita yang disampaikan bukanlah yang pertama kali mereka dengar, tetapi para siswa tampak antusias. Mereka sangat menikmati materi yang disampaikan dengan cara yang menarik. Kadang pembelajaran itu juga disampaikan dengan ilustrasi video atau kuis. Pemateri juga bercerita tentang pengalaman langsung di lapangan. Melalui metode tersebut, terlihat remaja putra-putri itu lebih mudah menangkap materi dan pesan di dalamnya.

Pendidikan konservasi yang baik tentu bisa menjadi tonggak perlindungan kawasan. Melalui proses belajar yang tepat, para siswa diarahkan untuk memahami aspek-aspek perlindungan lingkungan. Harapannya, mereka bisa lebih arif dalam melihat permasalahan TWA seperti konflik satwa-manusia dan kasus kejahatan lingkungan yang lain.

Dua anggota SAKA Wana Bakti sedang bergegas untuk mengikuti materi.

Dua anggota SAKA Wana Bakti sedang bergegas untuk mengikuti materi.

“Kami berharap melalui kemah konservasi ini dapat menjadi palang pintu kejahatan satwa liar dan pengrusakan kawasan TWA Seblat. Maka dari itu kami melibatkan peserta Saka Wanabakti dan Karang Taruna dari desa sekitar kawasan” ujar Anang Widiatmoko, Ketua Elephant Care Community (ECC) sekaligus tokoh masyarakat Desa Suka Baru.

Anang yang sehari-hari bekerja sebagai guru melihat pendidikan lingkungan dapat menjadi salah satu cara melindungi kawasan penting tersebut. Dia tak mau melihat TWA Seblat hancur begitu saja. Selama ini area konservasi itu telah menjadi kawasan penting yang menopang kehidupan masyarakat sekitar. TWA ini menjadi penyedia unsur hara untuk kesuburuan lahan pertanian sekaligus menyediakan air bagi warga.

Anang tak dapat membayangkan jika kawasan tersebut rusak, pasti akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dia menggambarkan rusaknya TWA Seblat juga akan mengancam eksistensi lahan pertanian mereka. Ketika hutan rusak, maka berdampak pada kehidupan satwa liar di dalamnya. Satwa-satwa itu akan terpaksa mencari sumber pakan di kebun dan lahan pertanian milik warga.

Sehingga perlindungan kawasan dengan menyediakan pendidikan konservasi yang baik sangatlah penting. Dengan memberikan pemahaman tentang arti penting TWA – Seblat, para siswa dapat memahami sekalihus diharapkan nantinya dapat lebih bijak dalam mengelola dan memperlakukan lingkungan sekitarnya. Tidak hanya memanfaatkan jasa ekosistemnya, tetapi mereka mampu melindungi sumber dayanya. Sehingga bisa tercipta keseimbangan alam baik generasi mereka atau generasi mendatang.

 

TWA Seblat dan Masyarakat

Gajah Robi, salah satu penghuni TWA Seblat.

Gajah Robi, salah satu penghuni TWA Seblat.

Pada tahun 2013, Yayasan Ulayat dengan dibantu pendanaan dari TFCA-Sumatera telah menghidupkan kembali ekowisata Seblat. Melalui program khusus dari Yayasan KEHATI ini, Yayasan Ulayat berharap akan tersedia nilai tambah ekonomi dari TWA Seblat tanpa merusak ekologinya.

“TWA Seblat ini memiliki nilai penting dalam keterhubungan koridor Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Kami melihat pelestariannya perlu didukung, tentunya dengan pendekatan potensi yang ada” terang Martian, Direktur Yayasan Ulayat.

Pendekatan potensi yang dimaksudnya adalah potensi ekowisata kawasan. TWA Seblat ini memiliki kekhasan flora-fauna Sumatra. Salah satu cara melindungi mereka dengan tetap dapat “mengambil manfaatnya” adalah dengan wisata berkelanjutan. Model ini dirasa yang paling pas. Kondisi alami TWA menjadi daya tarik tersendiri. TWA Seblat memiliki flora-fauna endemik yang langka seperti gajah, burung rangkong, beruang madu, raflesia arnoldi, dan lain-lain.

Yayasan Ulayat mengawali kegiatan dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat Desa Suka Baru, Margasakti, Bengkulu. Mereka mencoba meyakinkan pentingnya menjaga ekosistem Seblat. Namun, mereka sadar, memberikan pengertian tentang nilai penting sumber daya alam tanpa ada nilai tambahnya di masyarakat akan sangat musykil.

Kemudian mereka mendekontruksi ekowisata Seblat. Dulunya, sistem ekowisata telah dikembangkan oleh masyarakat sekitar Seblat. Akan tetapi, pengembangan ini belum maksimal.

Yayasan Ulayat memulainya dengan menginisiasi pembuatan forum ekowisata di Desa Suka Baru. Karena mekanisme ekowisata tidak seperti mass tourism lainnya, warga perlu diberikan pelatihan khusus tentang ekowisata. Setelah itu, masyarakat juga diberi bantuan sarana dan prasarana rumah tinggal untuk homestay. Terakhir, Yayasan Ulayat juga membantu promosi ekowisata.

Dalam satu paket tersebut wisatawan akan ditawarkan untuk melakukan aktivitas, seperti susur Sungai Seblat atau tubing, kemah di alam terbuka, memberi makan gajah, wisata budaya, dan lain-lain.

Saat ini, melalui pendekatan Yayasan Ulayat dan TFCA-Sumatera telah mulai nampak perubahan di tengah masyarakat. Menurut Martian, perambahan di dalam kawasan mulai berkurang. Ada kesadaran masyarakat yang sudah mulai terbentuk. (Yudha Arif Nugroho)

SHARE:
Berita lainnya