...

22 Oktober 2020

Warsi raih penghargaan Kalpataru

Jumat, 6 Juni 2014 12:02 WIB

Edy Supriyadi

……Dari hutan masyarakat mendapatkan hasil ekonomis melalui hasil hutan non kayu seperti rotan, damar, madu dan lainnya,” kata Diki……

Jambi (ANTARA Jambi) – Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, salah satu lembaga swadaya masyarakat lingkungan berhasil meraih penghargaan Kalpataru atas kepeduliannya terhadap pelestarian lingkungan.

Penghargaan tersebut diterima langung oleh Direktir Eksekutif Warsi Diki Kurniawan dari Wapres Boediono di Jakarta pada Rabu (4/6).

Warsi menyambut baik penghargaan di bidang lingkungan ini dan akan terus bergiat dalam melestarikan lingkungan dan pengakuan hak kelola masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Penghargaan yang diterima Warsi untuk kategori Pembina Lingkungan ini merupakan apresiasi pemerintah kepada lembaga yang berdiri sejak 1992 ini, dalam upayanya menjaminkan hak keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam untuk kehidupan kini dan nanti.

“Kalpataru ini kami dedikasikan untuk masyarakat yang selama ini sudah berjuang bersama untuk menciptakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan,” kata Diki.

Ia mengatakan, hingga kini terdapat sekitar 30.000 desa yang berada dalam dan sekitar kawasan hutan, selama puluhan tahun hanya menjadi penonton atas eksploitasi sumber daya hutan yang ada di sekitar mereka.

Tidak ada pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, padahal masyarakat jauh sebelum adanya negara ini juga sebelum hadirnya korporasi yang dilegalisasi negara melalui izin-izin yang sah, sudah hidup harmonis berdampingan dengan hutan.

Masyarakat sekitar menilai hutan bukan cuma tegakan kayu, tapi satu kesatuan yang saling mendukung dan memberi multi manfaat mulai dari sektor ekonomi, sosial budaya hingga religi, yang mendukung kehidupan masyarakat.

“Dari hutan masyarakat mendapatkan hasil ekonomis melalui hasil hutan non kayu seperti rotan, damar, madu dan lainnya. Dari hutan Orang Rimba (Suku Anak Dalam) menjalin ritual-ritual dengan sang pencipta sesuai dengan keyakinan mereka,” ujarnya.

Dengan adanya pola ini, menurut Diki, masyarakat membangun hubungan yang selaras dengan alam dengan kearifan-kearifan yang dimilikinya.

Ada pengaturan kawasan, ada kawasan yang diproteksi, ada kawasan yang dimanfaatkan baik untuk persawahan, pemukiman atau perladangan, semua ada aturan adatnya yang disepakati bersama oleh masyarakat.

Hubungan masyarakat dengan hutan ini nyaris terputus akibat pengkotak-kotakan hutan untuk HPH, HTI, sawit, transmigrasi dan pertambangan.

Aturan-aturan lokal dalam mengelola sumber daya alam tidak melibatkan masyarakat sama sekali dalam pengelolaan hutan.  Padahal akibat eksploitasi dari pengkotakan hutan ini dampak negatifnya menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

“Masyarakat merupakan pihak yang paling terkena dampak ketika terjadi perubahan di sekitar mereka. Ketika fungsi hutan menimbulkan berbagai dampak ekologis, dampak langsungnya dirasakan masyarakat sekitarnya,” kata Diki.

Untuk itulah kemudian Warsi memperjuangkan untuk penyelamatan hutan tersisa dan mendukung masyarakat di sekitar hutan untuk bisa terlibat langsung dalam mengelola sumber daya hutan.

Pelibatan masyarakat menjaga hutan ini menjadi sangat penting, karena setelah turun temurun hidup berdampingan dengan hutan, masyarakat sekitar hutan paling tahu cara menjaga sumber daya hutannya.

Oleh karena itu, Warsi mendorong adanya pengakuan dan legalisasi masyarakat mengelola hutan, dengan skema-skema yang mungkin, seperti hutan adat, hutan kemasyarakatan dan hutan desa.

Dari perjuangan Warsi lebih dari 22 tahun bersama masyarakat, telah muncul pengakuan hak kelola rakyat, berupa hutan adat lebih dari sembilan ribu gektare dan hutan desa seluas 45 ribu Ha. Selain itu, adanya pengakuan kawasan hidup Orang Rimba (SAD) di Taman Nasional Bukit Duabelas selas 60.500 Ha.

“Dari segi luasan memang masih kecil, tapi ini perlu diapresiasi dan kita tingkatkan lagi. Masyarakat harus dilibatkan mengelola hutannya, kita harus terus semangat dan menggali dukungan para pihak untuk terus memperluas hak kelola rakyat,” tegas Diki.

Pengembangan hak kelola rakyat ini juga dikembangkan Warsi di kawasan gambut mengingat kondisi gambut Jambi yang tergolong kritis akibat pengelolaan gambut yang lebih banyak dilakukan perusahaan dengan memberlakukan kanal-kanal pada lahan gambut.

Pengelolaan gambut yang seperti itu telah menyebabkan Jambi kehilangan stok karbon serta menjadi penyumbang emisi karbon yang merupakan penyebab perubahan iklim.

Untuk itu ujarnya, ke depan harus ada perbaikan tata kelola kehutanan dan lahan gambut, sehingga kawasan-kawasan ini terjaga dengan baik, dengan memberi manfaat untuk masyarakat luas.

“Tapi kita tidak boleh puas dengan itu semua, karena perjuangan masih panjang, dan masih banyak persoalan lingkungan yang harus kita tangani bersama, demi menciptakan lingkungan yang ramah untuk anak cucu kelak,” tambah Diki.(Ant)

 

SHARE:
Berita lainnya